Perjalanan menuju ma’rifat adalah perjalanan mendekati Allah SWT. Perjalanan mendapatkan Maha Penyayang-Nya. Perjalanan yang sama sekali tidak ada keuntungan finansial atau pun uang di dalamnya, tidak ada keuntungan materi yang bisa didapatkan, justru yang diperjuangkan dan yang terjadi adalah pemisahan semua unsur materi dari diri dan sekitar diri. Hal yang diluar materi yang diperjuangkan, dan dimaksimalkan untuk diraih, melalui petunjuk dan bantuan-Nya. Disinilah perjuangan melawan hawa nafsu tertinggi dan perjuangan hijrah yang sebenar-benarnya, serta yang terbesar.
Hijrah dari alam materi ke alam non materi, tanpa terlihat dan terdeteksi oleh orang lain. Jangan menunda atau menunggu diri ini dirobohkan, direbahkan lalu dibaringkan dalam sepetak tanah untuk menyesali kelaliman dan kebodohan, tanpa adanya lagi peluang untuk mengulangi. Kematian atau berpulang ke rahmatullah, juga adalah hijrah dari alam materi ke alam non materi. Hakekat perpindahan ini pun, tidak dilihat oleh orang lain, hanya konsekwensinya adalah tubuh kasar (jasmani) tak terpakai lagi. Tapi pada ma’rifat, jasmani tetap utuh dan tetap terpakai.
Melawan hawa nafsu, tidaklah dengan mengandalkan otak atau pun managerial daya pikir, tetapi mutlak dengan iman. Pertanyaannya, adalah: mampukah kita membedakan antara manajerial daya pikir dengan iman ? Atau dapatkah kita memaksimalkan daya guna iman, tanpa terkontaminasi oleh daya pikir ?
Senantiasanya iman dipakai untuk menahkodai proses ini, lalu berlanjut dengan berkekalan dalam penggunaannya, berimbas pada kerinduan alam malakut untuk selalu membukakan pintunya, guna menampilkan kediriannya pada diri yang bersangkutan.
Dahulu kala, sebelum Islam ada di dunia maka umumnya manusia dalam memasuki alam non materi, itu melalui meditasi atau pun bertapa. Boleh jadi, ketika yang bersangkutan bertahan dengan bermacam-macam ujian atau cobaan yang datang, maka akhirnya yang datang untuk pengabulan permintaannya, adalah: Malaikat, jin atau pun setan. Tidak ada kepastian putih dalam bertapa
Hal ini, sangat dipengaruhi oleh niat pelaku hijrah ke alam non materi, serta track record dari akhlak pelaku jauh sebelum melakukan proses hijrah dan juga niatnya dalam melakukan hijrah.
Setelah Islam datang, maka hadirlah pula yang namanya sholat tahajjud, dan diperintahkan dilakukan pada saat dua pertiga malam. Pada saat dua pertiga malam, maka umumnya alam materi mengambil jatah istirahatnya. Idealnya, adalah ketika alam materi beristirahat maka tentu alam non materi akan mendominasi segala aktivitas yang berlangsung, saat dua pertiga malam ini. Sholat tahajjud ini, terdapat beberapa proses di dalamnya yang ada kemiripan dengan bertapa.
Ketika kita telah berkekalan dalam proses menuju ma’rifat, dan sholat tahajjud diikutkan di dalamnya serta juga berkekalan pelaksanaannya tiap tengah malam, tanpa ada spasi walau semalam maka disinilah terjadi kemiripan dengan bertapa.
Dimana tiap dua pertiga malam kita melakukan tahajjud tanpa spasi, maka tiap kita tahajjud akan tampil terus semua hal-hal yang menyeramkan menyertai sholat tersebut sampai selesai. Semua binatang yang dapat mencelakai akan ditampilkan sebagai ujian, kecuali anjing dan babi yang tidak tampil.
Boleh jadi, kita sementara sholat tahajjud, ular besar pun secara nyata melilit dengan kencangnya ke seluruh tubuh. Lipan, kalajengking akan memenuhi seluruh lantai, dinding dan juga sajadah, atau ketika akan sujud maka mayat super seram seketika ada di tempat sujud. Atau ular besar super seram dalam posisi siap mematuk atau menelan mentah-mentah diri kita, tiba-tiba saja ada di sajadah, pada saat diri akan sujud.
Semua hal-hal seram yang lain juga akan ditampilkan, guna menguji iman yang bersangkutan. Disinilah dibuktikan apakah kerinduannya pada Allah berada diatas segalanya, ataukah hal seram dan menakutkan ini masih menghalanginya untuk bisa mendapatkan Maha Penyayangnya Allah SWT. (Wallahu a’lam Bis Shawabi).
Bersambung….
Syahrir AR
Gowa, Kamis, 05 September 2019