DPRD Sinjai dan Lambannya Respons terhadap Aspirasi Rakyat: Tantangan Demokrasi di Level Lokal

Penulis: Muhammad Yusuf Buraearah, SH. (Redaktur Kriminal kosongsatunews.com)

OPINI, Sinjai (15/9/2024) – Dalam sistem demokrasi yang sehat, lembaga legislatif memainkan peran penting sebagai penjaga keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan aspirasi masyarakat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di berbagai wilayah memiliki tanggung jawab besar untuk menyalurkan suara rakyat serta memastikan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah selaras dengan kepentingan publik. Namun, di Sinjai, fungsi tersebut tampaknya mengalami kendala serius, ditandai dengan lambatnya respons terhadap aspirasi masyarakat yang sudah disampaikan.

Fenomena lambannya respons DPRD terhadap aspirasi masyarakat bukan sekadar masalah teknis administratif, melainkan mencerminkan tantangan struktural dalam praktik demokrasi lokal. Keterlambatan dalam menindaklanjuti keluhan rakyat, khususnya dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat (RDP), menimbulkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas peran DPRD dalam menjalankan fungsinya. Alih-alih menjadi corong aspirasi masyarakat, DPRD tampak lebih sibuk dengan urusan internal yang justru mengabaikan kebutuhan nyata di lapangan.

Salah satu kasus konkret yang menggambarkan lambatnya respons DPRD Sinjai adalah keluhan Safwan, warga Bulukamase, terkait persoalan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Setelah mengajukan aspirasinya ke DPRD tiga pekan lalu, Safwan masih belum mendapatkan kejelasan atau tindak lanjut dari pihak terkait. Peralihan kepemilikan yang menjadi pokok permasalahannya masih belum direspons secara serius. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: jika DPRD sebagai lembaga wakil rakyat lambat menindaklanjuti aspirasi yang sudah disampaikan secara resmi, kemana lagi masyarakat harus menyuarakan keluhan mereka?

Fenomena ini menandai penurunan kualitas pelayanan publik dan berpotensi menimbulkan efek jangka panjang yang merugikan. Jika masyarakat terus-menerus dihadapkan pada situasi di mana aspirasinya tidak direspons dengan cepat dan tepat, lambat laun akan terjadi proses delegitimasi terhadap DPRD sebagai institusi politik lokal. Alih-alih menyuarakan aspirasi, masyarakat akan memilih sikap pasif dan menerima kondisi yang ada. Inilah gejala yang amat berbahaya bagi perkembangan demokrasi lokal, di mana suara rakyat tidak lagi dianggap sebagai prioritas.

Secara teori, mekanisme Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan salah satu alat utama DPRD untuk memastikan bahwa aspirasi dan kepentingan masyarakat terakomodasi dengan baik. Melalui RDP, wakil rakyat seharusnya dapat mendengarkan langsung permasalahan yang dihadapi masyarakat, baik terkait pelayanan publik, infrastruktur, hingga kebijakan pemerintah daerah. Namun, lambatnya DPRD Sinjai dalam menggelar RDP hanya mempertegas kesan bahwa lembaga ini kehilangan fokus terhadap mandat yang diembannya.

Tidak hanya Safwan, banyak warga Sinjai lainnya yang mengeluhkan pelayanan publik, mulai dari infrastruktur jalan yang rusak hingga pengelolaan anggaran yang kurang transparan. Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan fundamental: apakah lambatnya respons DPRD disebabkan oleh kendala internal birokrasi, atau ada permasalahan yang lebih kompleks terkait kapasitas lembaga legislatif itu sendiri dalam menjalankan fungsi pengawasan dan representasi?

Lembaga swadaya masyarakat dan kelompok pengamat politik di Sinjai telah menyuarakan kekhawatiran serupa. Mereka menyoroti pentingnya DPRD sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif melalui mekanisme dialog terbuka dengan masyarakat. Tanpa respons cepat dan transparan, peran kontrol yang dimiliki DPRD akan tergerus, dan masyarakat akan semakin tidak percaya pada kemampuan legislatif dalam mengawasi kinerja pemerintah daerah.

Menurut Dr. Andi Kurniawan, seorang akademisi di bidang Ilmu Politik dari Universitas Hasanuddin, “Keterlambatan dalam menanggapi aspirasi masyarakat adalah indikasi kegagalan sistemik dalam tata kelola pemerintahan lokal. DPRD sebagai lembaga representasi harus memastikan bahwa setiap aspirasi yang disampaikan oleh warga mendapatkan tindak lanjut yang memadai, bukan hanya sebagai formalitas. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan legitimasi proses demokrasi.” Pernyataan ini disampaikan pada seminar tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah di Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 12 September 2024.

Senada dengan pendapat tersebut, Prof. Rini Pertiwi, ahli administrasi publik dari Universitas Negeri Makassar, menambahkan, “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus berperan aktif dalam mendengarkan dan merespons aspirasi masyarakat dengan segera. Jika proses ini terhambat, maka kualitas demokrasi lokal akan menurun dan masyarakat akan semakin enggan untuk berpartisipasi. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aspirasi adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan mencegah apatisme di kalangan warga.” Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi nasional tentang Administrasi Publik yang berlangsung di Universitas Negeri Makassar pada 10 September 2024.

Dalam pandangan akademisi lainnya, Dr. Budi Santoso, pakar pemerintahan daerah dari Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa “Kurangnya respons DPRD terhadap aspirasi masyarakat dapat merusak integritas lembaga tersebut. Rapat Dengar Pendapat yang tidak terlaksana sesuai waktu yang ditetapkan menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam pengelolaan fungsi legislatif. DPRD harus menyadari bahwa keterlambatan ini berpotensi menurunkan efektivitas lembaga dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.”

Menambahkan perspektif serupa, Dr. Siti Nurbaya, dosen hukum tata negara di Universitas Airlangga, menegaskan, “Respons yang lambat dari DPRD menunjukkan kurangnya perhatian terhadap hak-hak konstitusi masyarakat. Sebagai perwakilan rakyat, DPRD seharusnya memprioritaskan penyelesaian aspirasi secara cepat dan efisien. Jika tidak, hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dan menurunkan partisipasi publik dalam proses politik.”

Sikap pasrah masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya berpotensi menimbulkan stagnasi sosial-politik di level lokal. Ketika suara rakyat tidak lagi mendapat perhatian dari wakil-wakilnya, maka tercipta ruang kosong di mana hubungan antara pemerintah dan masyarakat menjadi renggang. Pada akhirnya, kondisi ini akan mengarah pada krisis kepercayaan terhadap DPRD dan secara lebih luas terhadap institusi demokrasi lokal.

Untuk mengatasi fenomena ini, DPRD Sinjai perlu segera menggelar RDP secara rutin dan terbuka. Transparansi dalam pengambilan keputusan serta akuntabilitas terhadap masyarakat harus menjadi prinsip utama yang dijalankan oleh lembaga legislatif. Dengan mengedepankan dialog yang lebih proaktif, DPRD dapat memperbaiki citra dan meningkatkan kembali kepercayaan publik yang mulai memudar. Lebih dari itu, respon cepat dan tindakan nyata terhadap aspirasi rakyat bukan hanya tanggung jawab moral, melainkan esensi dari fungsi representasi itu sendiri.

Jika lambatnya respons ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin apatis terhadap proses politik di daerahnya. Pelayanan yang lambat hanya akan memperkuat pandangan bahwa lembaga legislatif tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada titik inilah, diperlukan komitmen yang lebih besar dari DPRD untuk benar-benar menjalankan tugasnya sebagai penjaga demokrasi lokal yang inklusif, responsif, dan akuntabel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *