Oleh Muhammad Yusuf Buraerah, SH
SINJAI, 14 Agustus 2024, Renungan Redaksi – Dalam lanskap sosial modern, kesombongan non-intelektual semakin mendominasi ruang publik. Istilah ini merujuk pada sikap arogan yang tidak didasarkan pada kecerdasan atau pengetahuan mendalam, tetapi lebih pada atribut superficial seperti status sosial, kekayaan, atau penampilan. Fenomena ini menjadi semakin menonjol dalam era digital, di mana pengaruh media sosial memperkuat penekanan pada citra daripada substansi.
Kesombongan non-intelektual sering kali terkait dengan konsep “prestise sosial,” yang merujuk pada nilai sosial yang diberikan kepada individu berdasarkan faktor eksternal daripada kapasitas kognitif atau keahlian profesional. Dalam konteks ini, masyarakat dapat memuja individu yang menampilkan gaya hidup glamor atau berbicara dengan nada yang berwibawa tanpa substansi yang mendukung klaim mereka.
Para ahli filsafat memiliki pandangan kritis terhadap fenomena ini. Friedrich Nietzsche, misalnya, mengkritik masyarakat yang menghargai nilai-nilai eksternal daripada nilai-nilai intrinsik. Menurut Nietzsche, kesombongan non-intelektual adalah manifestasi dari “moralitas budak” di mana nilai-nilai yang sebenarnya—seperti kekuatan individu dan kreativitas—ditinggalkan demi penampilan superficial yang diterima masyarakat.
Jean-Paul Sartre, dalam perspektif eksistensialisnya, melihat kesombongan non-intelektual sebagai bentuk “buruk iman” di mana individu mengabaikan tanggung jawab pribadi dan esensi mereka untuk mencapai otentisitas. Sartre berargumen bahwa kesombongan ini merupakan pelarian dari kebebasan dan otentisitas, di mana seseorang lebih memilih untuk terjebak dalam penilaian eksternal ketimbang menyelidiki diri sendiri dan kapasitas mereka yang sesungguhnya.
Bagi Michel Foucault, kesombongan non-intelektual dapat dilihat melalui lensa “diskursus kekuasaan.” Foucault berpendapat bahwa norma-norma sosial dan diskursus tentang status menciptakan struktur kekuasaan yang mendiskreditkan pengetahuan yang sebenarnya, sementara menguatkan nilai-nilai superficial. Dengan demikian, kesombongan non-intelektual tidak hanya mencerminkan tetapi juga memperkuat dinamika kekuasaan yang ada dalam masyarakat.
Saya, juga menyoroti dampak kesombongan non-intelektual dalam konteks hukum dan keadilan sosial. Kesombongan non-intelektual dapat merusak integritas sistem hukum ketika status sosial dan kekayaan individu mempengaruhi penegakan hukum secara tidak adil. Hal ini menciptakan ketidakadilan, di mana individu dengan kekayaan dan status tinggi seringkali mendapatkan perlakuan istimewa, mengabaikan prinsip keadilan yang merata. Saya menegaskan pentingnya mengembalikan fokus pada prinsip keadilan yang objektif dan berdasarkan bukti, bukan pada atribut non-intelektual.
Salah satu dampak dari kesombongan non-intelektual adalah penguatan hierarki sosial yang tidak adil, di mana prestise diperoleh tanpa kontribusi nyata terhadap pengetahuan atau keahlian. Hal ini juga dapat menimbulkan “ilusi keunggulan” di kalangan individu, yang menganggap bahwa status atau kekayaan mereka secara otomatis mencerminkan kecerdasan atau kompetensi yang superior.
Dalam kajian sosial, fenomena ini sering dijelaskan melalui teori “kapital sosial” dan “kapital simbolik,” di mana nilai individu dipengaruhi oleh hubungan sosial dan simbol-simbol status. Kesombongan non-intelektual menyoroti pergeseran dari meritokrasi berbasis pengetahuan ke sistem yang lebih menekankan citra dan prestise.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi masyarakat untuk mempromosikan penilaian yang lebih objektif terhadap keahlian dan pengetahuan, serta mengkritisi norma-norma sosial yang menghargai atribut non-intelektual secara berlebihan. Dengan fokus pada substansi daripada citra, kita dapat mendorong terciptanya masyarakat yang lebih adil dan berbasis pengetahuan.