Kekerasan di Ruang Kelas: Saat Guru Menjadi Pelaku, Bukan Pelindung

Oleh Muhammad Yusuf Buraearah, SH.

OPINI, Sinjai, (4/9/2024) kosongsatunews.com – Di dalam ruang kelas, tempat yang seharusnya menjadi arena pembelajaran dan pembentukan karakter anak, fenomena kekerasan terhadap siswa oleh guru menjadi bayangan gelap yang terus menghantui dunia pendidikan. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia, kekerasan terhadap anak di bawah umur oleh pendidik yang seharusnya membimbing dan melindungi mereka menjadi isu serius yang mendesak untuk diperhatikan.

Kekerasan dalam dunia pendidikan, khususnya kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, bukanlah fenomena baru. Sejarah panjang pendidikan telah mencatat berbagai bentuk kekerasan yang dilegitimasi atas nama disiplin. Namun, di era modern ini, dengan semakin berkembangnya kesadaran akan hak asasi manusia, kekerasan terhadap anak di ruang kelas menjadi bentuk pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa untuk berkembang dan belajar. Ketika seorang guru yang dalam budaya kita dianggap sebagai sosok panutan melakukan kekerasan terhadap anak didiknya, bukan hanya tubuh anak yang terluka, tetapi juga jiwa dan semangat mereka untuk belajar. Trauma yang ditinggalkan oleh kekerasan semacam ini dapat mempengaruhi psikologi anak hingga dewasa, merusak kepercayaan diri, dan menghancurkan potensi mereka.

Fenomena ini mengundang pertanyaan mendalam tentang fungsi guru dalam sistem pendidikan kita. Bagaimana mungkin seseorang yang diamanahkan untuk mendidik justru menjadi ancaman bagi murid-muridnya? Adakah kegagalan dalam sistem seleksi dan pelatihan guru? Atau, mungkin, masalah ini lebih dalam, mencerminkan krisis moral dan etika di masyarakat yang lebih luas?

Ketika kekerasan oleh guru terjadi, seringkali alasan yang diberikan adalah masalah disiplin dan kurangnya kontrol terhadap siswa. Dalam beberapa kasus, guru merasa terdesak oleh tekanan dari sistem pendidikan yang menuntut hasil akademik tinggi tanpa menyediakan dukungan emosional dan mental yang memadai bagi mereka. Namun, alasan-alasan ini tidak bisa menjadi pembenaran untuk kekerasan.

Penting untuk diingat bahwa anak-anak adalah individu yang sedang berkembang dan memiliki hak untuk dilindungi. Mereka bukan objek yang bisa diperlakukan seenaknya oleh orang dewasa, termasuk guru. Setiap tindakan kekerasan terhadap anak adalah pelanggaran terhadap hak mereka sebagai manusia. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang memanusiakan, bukan yang mendisiplinkan melalui rasa takut.

Menurut Prof. Dr. Fasli Jalal, seorang guru besar di bidang pendidikan dan mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, “Kekerasan dalam pendidikan menciptakan trauma yang mendalam dan merusak jiwa anak. Pendidikan harus menjadi proses pembentukan karakter yang berbasis pada cinta kasih dan penghormatan, bukan pada paksaan dan hukuman fisik.” Pernyataan ini disampaikan dalam seminar nasional bertajuk “Pendidikan Tanpa Kekerasan” yang digelar pada Maret 2023 dan dimuat di harian Kompas.

Senada dengan itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, dalam wawancara yang dipublikasikan oleh The Jakarta Post pada April 2024, mengungkapkan, “Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik adalah bentuk pengkhianatan terhadap profesi mulia ini. Sangat penting untuk memastikan bahwa lingkungan pendidikan kita aman bagi anak-anak, dengan melibatkan semua pihak dalam pengawasan dan tindakan preventif.” Retno menegaskan pentingnya pelibatan semua elemen masyarakat, termasuk orang tua dan pemerintah, dalam mengawasi pelaksanaan pendidikan yang bebas dari kekerasan.

Dr. Seto Mulyadi, seorang psikolog anak terkemuka dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), juga mengkritisi fenomena ini dalam artikel yang dipublikasikan oleh Detik.com pada Februari 2024. Ia mengatakan, “Setiap bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal, akan merusak fondasi psikologis anak. Guru seharusnya menjadi figur yang memberi rasa aman dan membangun kepercayaan diri siswa, bukan sebaliknya.” Dr. Seto menekankan perlunya pelatihan yang intensif bagi guru untuk mengelola emosi dan menghadapi tantangan dalam mengajar tanpa harus menggunakan kekerasan.

Lebih lanjut, Prof. Dr. Arief Rachman, seorang pakar pendidikan yang sering menjadi narasumber di media nasional, menyoroti dalam sebuah diskusi di Metro TV pada Agustus 2023, bahwa “Kekerasan di sekolah mencerminkan kegagalan kita dalam membangun budaya pendidikan yang humanis. Kebijakan pendidikan harus menitikberatkan pada pengembangan karakter dan empati, serta menghilangkan budaya hukuman fisik yang masih dianggap normal di beberapa kalangan.”

Mengatasi fenomena ini membutuhkan komitmen bersama dari semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Pemerintah, sebagai pengambil kebijakan, perlu memperketat regulasi terkait perlindungan anak di sekolah dan memastikan bahwa guru yang terlibat dalam kekerasan mendapatkan sanksi tegas. Selain itu, perlu ada mekanisme pelaporan yang mudah diakses oleh siswa dan orang tua untuk melaporkan kekerasan yang terjadi.

Di Indonesia, perlindungan anak dari kekerasan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 54 menyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.” Dengan adanya peraturan ini, setiap pelanggaran yang terjadi harus ditindaklanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku.

Di sisi lain, lembaga pendidikan harus memperbaiki sistem seleksi dan pelatihan guru. Guru harus dipilih tidak hanya berdasarkan kemampuan akademik mereka, tetapi juga dari sisi moral dan etika. Pelatihan yang diberikan kepada guru harus mencakup pendidikan emosional dan bagaimana menangani siswa dengan empati dan pengertian.

Lebih dari itu, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengubah paradigma kekerasan di ruang kelas. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa kekerasan, dalam bentuk apapun, tidak pernah bisa menjadi alat pendidikan yang efektif. Mengajarkan anak-anak dengan cara yang keras hanya akan menghasilkan generasi yang sama kerasnya dan tidak sensitif terhadap kebutuhan orang lain.

Melalui media, kita juga bisa memainkan peran penting dalam mengedukasi masyarakat mengenai dampak buruk dari kekerasan terhadap anak. Media harus terus mengangkat kasus-kasus kekerasan di sekolah sebagai upaya untuk mendorong perubahan. Dengan pemberitaan yang terus menerus, diharapkan akan ada tekanan publik yang cukup kuat untuk memaksa perubahan kebijakan dan perilaku.

Di masa depan, kita harus bercita-cita untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar aman dan mendukung bagi semua anak. Guru seharusnya menjadi pendamping dalam proses belajar, bukan menjadi ancaman. Dengan menghapuskan kekerasan dari ruang kelas, kita tidak hanya melindungi anak-anak kita, tetapi juga membangun fondasi yang lebih kuat untuk masa depan bangsa.

Seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi, dunia pendidikan harus mengikuti perubahan zaman. Pendidikan yang berbasis kasih sayang dan penghormatan terhadap hak anak akan menciptakan generasi yang lebih baik, yang mampu berpikir kritis, bertindak dengan empati, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Kekerasan terhadap anak di bawah umur oleh guru bukan hanya masalah pendidikan; ini adalah masalah kemanusiaan. Dengan menghadapinya bersama-sama, kita dapat memastikan bahwa sekolah kembali menjadi tempat yang aman dan membangun, bukan tempat di mana anak-anak merasa takut. Sebagai bangsa yang menghargai pendidikan, sudah saatnya kita mengatakan cukup untuk kekerasan di ruang kelas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *