Ada adagium tua di dunia geopolitik, “Tidak ada yang abadi dalam kolonialisme di muka bumi melainkan devide et impera”. Bahwa devide et impera kerap disebut dengan istilah strategi belah bambu alias taktik pecah belah, atau trik adu domba, dan lainnya.
Apabila merujuk histori adu domba di Bumi Pertiwi, bahwa maqom tertinggi modus belah bambu ialah membenturkan alias mengadu domba antara TNI Vs Polri, selain terdapat adu domba antarsesama muslim yang kini tengah berlangsung secara diam-diam (karena umat tak menyadari) melalui pengelompokan Islam menjadi beberapa entitas, misalnya, Islam Modern, Islam Tradisional, Islam Radikal, Islam Ekstrim lain, dan seterusnya
Kenapa adu domba TNI-Polri dianggap sebagai maqom tertinggi?
Sebab, TNI-Polri itu anak kandung revolusi. “Mereka perekat bangsa.” Pecah keduanya, maka pecahlah bangsa ini. Demikian kredo bergulir di kalangan nasionalis. Silakan petik hikmah 10 Nopember 1945 di Surabaya. Tatkala keduanya bersatu lalu bersama rakyat mengangkat senjata, maka pemenang Perang Dunia II pun ‘balik kucing’. Mereka kalah perang. Dua jenderal sekutu tewas di Surabaya menjadi saksi betapa dahsyatbya kekuatan manakala TNI, Polri dan rakyat bersatu. “Tak bisa dikalahkan”.
Sekali lagi, upaya memecah TNI-Polri merupakan modus dan maqom tertinggi oleh anasir manapun khususnya pihak asing guna melemahkan persatuan dan kedaulatan bangsa. Itu metode puncak belah bambu.
Ketika kini banyak anak bangsa justru menari-nari dalam gendang yang ditabuh asing, entah di internal TNI-Polri sendiri ataupun dari eksternal (NGO, civil society, media dll), disinyalir — selain faktor ego sektoral, esprit de corps yang keliru, tidak memahami sejarah, kurang wawasan dst, juga kuat diduga para penggaduh tersebut merupakan proxy agents dari anasir asing yang tengah mengaduk-aduk Bumi Pertiwi. Katakanlah, ‘buzzers bayaran’ baik dari eksternal maupun di internal TNI-Polri. Nah, entitas terakhir inilah (proxy agents) yang paling berbahaya. Asli. Mereka adalah para pengkhianat bangsa!
Seyogianya, anggota TNI-Polri baik yang telah purna terutama yang aktif agar menahan diri apabila muncul isu di permukaan yang mencoreng nama institusi, seyogianya jangan langsung clometan. Apalagi mengembangkan dan menyebar berita yang belum A1. Biarlah fakta, data dan logika diurai secara profesional oleh aparat berkompeten. Jangan sampai publik justru teralihkan (deception) pada isu lain, sedang persoalan utama malah kabur.
Apapun narasi. Entah secara langsung atau memakai cara melingkar, menyelinap dst bahwa upaya adu domba TNI Vs Polri akan selalu menjadi agenda asing baik secara halus, setengah kasar maupun vulgar.
Kalau di Polri ada Partai Coklat alias Parcok, misalnya, demikian pula di TNI, ada Partai Hijau atau Parjo. Keduanya, baik Parcok ataupun Parjo bukanlah potret institusi, atau cermin peran dan fungsi kelembagaan dalam negara. Ia adalah sekumpulan oknum anggota TNI-Polri yang sering hilir mudik di lorong-lorong politik dan kekuasaan. Tak dapat dipungkiri, hal tersebut merupakan outcome dari Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, UU Polri, dan UU TNI dimana selain dominannya peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (vide Pasal 6A Ayat 2), juga ada keharusan fit and proper test di DPR bagi Panglima TNI dan Kapolri sesuai UU kedua lembaga. Ini konsekuensi logis. Dan gilirannya, mau tidak mau, suka atau tak suka, ada politisasi kuat di Polri dan di TNI.
Jumlah anggota Parcok dan Parjo cuma sedikit, tetapi mereka memegang sistem, kendali dan menguasai sumber daya vital organisasi baik di internal maupun di luar organisasi. Posisi inilah yang kini tengah dibentur – benturkan oleh kekuatan eksternal, sehingga dikhawatirkan membahayakan bangunan kesatuan dan persatuan bangsa sebagaimana asumsi pada prolog tulisan ini: “TNI-Polri itu anak kandung revolusi. Perekat bangsa”.
Seyogianya personel non-Parcok dan non-Parjo tidak perlu terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang sedang dimainkan oleh segelintir _proxy agents_ dengan berbagai naratif. Tetap waspada dalam keimanan Tribrata dan Catur Prasetya bagi anggota Polri, serta kesetiaan terhadap Sumpah Prajurit dan Sapta Marga bagi anggota TNI. Ya. Pesta bakal usai. Indonesia kini memasuki tahap dengan apa yang disebut Babat Alas (2025-2029). Becik ketitik olo ketoro.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tidak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
*) MAP, 27 Maret 2025, di G__