Sikap dan Sifat Ilahiyah Yang Ada di Dalam Diri dan Disekitar Hidup serta Kehidupan Kita Yang Selalu Perlu Dijaga

Hasrat dan selera memang merupakan produk hati — yang diliputi oleh perasaan, keinginan dan naluri yang tersembunyi di dalam lubuk hati setiap orang. Artinya, hati itu bukan hanya organisasi fisik tetapi juga menjadi pusat emosi dan keinginan batin yang terpendam , tanpa pernah muncul kepermukaan sebelum adanya tindakan untuk mewujudkan hasrat dan keinginan tersebut. Jadi selera dan hasrat muncul dari kondisi hati — perasaan yang berbaur dengan pengalaman empirik untuk mengulang hasrat dan keinginan yang sama untuk diulang lagi.

Begitulah hasrat dan keinginan menulis bagi seorang penulis yang tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan, tetapi telah menjadi kebutuhan batin yang terus menerus meski sudah dilakukan berulang kali dalam bentuk dan penampilan yang baru.

Tentu saja tulisan yang segar dan baru itu memiliki muatan nilai tersendiri, sehingga penulisnya tidak pernah akan merasa bosan karena akan selalu berupaya menampilkan pemikiran atau gagasan yang baru. Adapun nilai penakarnya tentu saja tidak menggunakan standar nilai dari diri sendiri, tapi akan selalu ikut mempertimbangkan pemikiran dan pendapat orang lain. Meskipun hanya sebatas asumsi dan dugaan belaka yang kelak dapat terklarifikasi dengan sendirinya atas respon dan apresiasi publik.

Kesadaran terhadap tulisan atau karya apapun yang dapat dinikmati secara bebas oleh publik, tentu saja harus diikuti oleh kesadaran dan pemahaman bahwa setiap penikmat — atau pembaca untuk sebuah karya tulis itu — bisa menimbulkan persepsi dan apresiasi yang beragam. Mulai dari yang setuju, tidak setuju, sekedar suka, dan tidak suka atau bahkan memuji dengan ketakjuban yang berlebihan bisa saja terjadi, lantaran sangat tergantung dari siapa yang memberikan respon terhadap karya tersebut. Persis seperti tanggapan dan apresiasi setiap orang yang sangat mungkin tidak setara kadarnya terhadap karya seni atau sebuah pertunjukan yang dianggap spektakuler oleh masyarakat umum yang menyaksikan pertunjukan tersebut.

Dalam kondisi dan suasana seperti inilah peran hati yang menyalakan getar dari perasaan sangat berperan, karena sangat tergantung dari suasana hati setiap orang yang menikmatinya. Sebab tidak sedikit diantaranya pun yang berharap lebih heboh dan dahsyat dari apa yang sedang dia saksikan saat itu. Tapi juga, tetap saja ada diantaranya yang mampu menikmati pertunjukan tersebut dengan puncak klimaks kepuasaan yang melampaui pengalaman batin yang bisa dirasakan oleh orang banyak.

Artinya, atas kesadaran tentang hasrat dan keinginan inilah setiap orang memerlukan takaran ukuran yang tidak berlebih dan juga tidak berkurang, sehingga keseimbangan dalam menaruh harapan pada sesuatu yang sangat diidealjan terjadi tidak sampai menimbulkan kekecewaan yang tidak perlu. Karena itu, sikap dan sifat tenggang rasa — semacam permakluman untuk memahami keterbatasan orang lain — dapat membangun sikap bijak yang positif. Tidak juga berlebih dari takaran yang seharusnya diidealkan.

Ikhwal tentang selera dan hasrat ini ibaratnya seperti keinginan melahap gulai kepala ikan yang paling gurih dan legit, bisa saja ada sedikit kekurangannya yang tidak perlu menimbulkan rasa kekecewaan yang tidak perlu, sebab bisa semakin menambah kelezatan gulai ikan yang sudah cukup nikmat itu. Karenanya, sikap yang bijak adalah harus selalu memberi ruang maaf terhadap segala sesuatu yang tidak perlu menimbulkan rasa kekecewaan di dalam perasaan untuk bersyukur. Dan sikap ugahari semacam ini merupakan bagian dari kearifan lokal yang ada dalam adat istiadat para leluhur. Yaitu, selalu bersyukur atas nikmat Tuhan yang sedang dinikmati dan juga nikmat terdahulu yang sempat dinikmati — agar hidup dan kehidupan dapat terus terjaga dalam kondisi seperti apapun.

Namun dari sikap yang ugahari itu, tidak berarti pasrah untuk menerima segala bentuk kondisi dan situasi yang ada, sebab daya dan upaya tetap harus dilakukan secara maksimal, kendati hasilnya tidak dapat diwujudkan dalam bentuk maupun jumlah yang sudah terlanjur diharapkan. Sebab yang terpenting adalah data dan upaya telah dilakukan dengan maksimal, dan keberhasilan tetap harus diyakini dan dipercaya selalu ada pada kehendak Tuhan yang penuh misteri bagi manusia.

Begitulah nilai-nilai spiritualitas adanya di dalam diri dan sekitar kehidupan kita yang penuh misteri dan rahasia sebagai bagian dari bukti sifat dan sikap ilahiah yang juga ada di dalam diri kita. Toh, manusia sendiri telah mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari Tuhan sebagai sangat khalifatullah di bumi.

 

Banten, 11 Oktober 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *