Dede Farhan Aulawi, Peran Polair Tingkatkan Keamanan dan Keselamatan Transportasi Perairan

Bandung indonesia merupakan negara besar yang terdiri dari belasan ribu pulau, dan 2/3 wilayahnya merupakan wilayah perairan. Oleh karen aitu tidak mengherankan jika layanan transportasi perairan, baik sungai, danau dan laut terus meningkat. Baik untuk kapal penumpang, kapal barang, kapal tanker dan sebagainya. Dengan demikian perhatian terhadap kualitas layanan jasa transportasi perairan harus benar – benar diperhatikan, baik dari perspektif keamanan maupun keselamatannya.

“ Jika merujuk pada landasan hukum yang terkait dengan jaminan keamanan dan keselamatan dalam pelayaran sebenarnya telah diatur dalam UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. Namun di sisi lain fakta menunjukan bahwa kecelakaan moda transportasi laut masih sering terjadi “, ujar Pemerhati Keselamatan Transportasi Dede Farhan Aulawi di Bandung, Jum’at (8/7).

Pertanyaan kemudian, kenapa kecelakaan transportasi perairan masih terjadi ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya belajar teori kecelakaan. Suatu peristiwa bisa disebut kecelakaan jika terjadi personal injury dan/ atau property damage. Artinya ada kecelakaan orang atau aset yang rusak. Kecelakaan bisa terjadi karena faktor manusia (human factors), faktor teknis, dan faktor alam (cuaca). Sementara data menunjukkan bahwa sebagian besar penyebab terjadinya kecelakaan adalah faktor manusia. Oleh karena itu perhatian sebaiknya difokuskan pada upaya – upaya untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya human error karena faktor manusia tadi.

Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa dalam teori Dirty Dozen, Gordon Dupont menyampaikan faktor – faktor dominan yang bisa menimbulkan human error, seperti miss communication, lack of knowledge, complacency, lack of awareness, dan lain – lain. Intinya perlu upaya yang sungguh – sungguh untuk menekan human error ini, dan salah satu hal yang penting adalah mensosialisasikan ilmu tentang Human Factors ini. Ujarnya.

Setelah itu, penyebab lainnya adalah masalah teknis dan masalah cuaca. Masalah teknis misalnya kecepatan laju korosi pada dinding kapal oleh air laut. Masalah cuaca, misalnya badai, gelombang yang tinggi, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas, dan sebagainya.

Kualitas layanan transportasi perairan selama ini dinilai masih perlu ditingkatkan, karena regulasi dan implementasinya masih lemah. Pengemban fungsi terkait di pemerintahan kelihatannya belum maksimal menaruh perhatian pada upaya jaminan keamanan dan keselamatan pelayaran ini meskipun UU nya sudah ada. Hal ini tentu bukan sekedar asal opini saja, tetapi didasarkan hasil observasi dan investigasi yang pernah dilakukan. Dalam konteks ini, nampaknya peran Polair harus lebih dimaksimalkan lagi dan bekerja sama dengan pengemban fungsi yang terkait lainnya. Polair harusnya bisa melakukan pemeriksaan kapal sejak kapal masih di pelabuhan untuk memeriksa segala kelengkapan dokumen dan berbagai persyaratan keselamatan kapal lainnya. Sementara selama ini polair hanya bisa memeriksa setelah kapal berlayar dan berada di perairan. Artinya langkah – langkah pencegahan justeru harus dilakukan dan bekerja sama dengan syahbandar atau otorita pelabuhan.

Jika diamati secara seksama, ada dua hal utama yang menyangkut keselamatan dan keamanan kapal yang tidak dimuat dalam UU Pelayaran. Pertama, tidak adanya ketentuan yang mencantumkan mengenai batas muatan kapal. Batas muatan kapal adalah sesuatu yang paling penting untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. Kelebihan muatan suatu kapal bisa menjadikan kapal itu overcapacity atau kelebihan muatan yang berisiko mengganggu keseimbangan kapal, sehingga mengakibatkan kecelakaan kapal. Kemudian yang kedua, tidak adanya ketentuan mengenai jumlah sekoci penolong dan alat keselamatan lainnya yang harus ada di kapal. Ketika kapal sudah mengalami gejala-gejala akan terjadinya kecelakaan, sekoci penolong dan berbagai alat keselamatan lain menjadi kebutuhan utama untuk menyelamatkan nyawa para penumpang dan awak.

“ Saat ini banyak kapal yang menyediakan sekoci, lifejacket dan alat-alat keselamatannya lainnya dalam jumlah yang tidak memadai alias terbatas. Seolah – olah hanya memenuhi persyaratan normatif saja, sehingga ketika terjadi masalah saat berlayar maka para penumpang akan berebutan dan tidak mendapatkan alat keselamatan secara penuh “ , ungkap Dede.

Sebenarnya ada beberapa regulasi terkait keselamatan penumpang kapal, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan No.25 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan, Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan, Peraturan Menteri Perhubungan Tahun 20 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Pelayaran, Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2000 tentang Kepelautan. Jadi secara teoritis, peraturannya ada bahkan lengkap danmengacu pada regulasi internasional, namun implementasinya yang masih lemah.

“ Untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan transportasi perairan, mau tidak mau peran polair harus ditingkatkan. Otorita pelabuhan atau syahbandar jangan ragu untuk meminta bantuan polair jika mengalami kesulitan, karen apolair pasti akan membantu kesulitan yang dihadapi masyarakat di wilayah perairan. Dengan demikian pelaksanaan dari amanah UU pelayaran ini diharapkan bisa maksimal, sehingga keamanan dan keselamatan penumpang moda perairan bisa lebih baik lagi “, pungkas Dede.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *