KISAH ANAK CUCU ASY SYARIF HASAN BAHASIM AL MAHDALY DI MASA REVOLUSI.

Tercatat dan terdengar cukup melegenda pergerakannya anak dan cucu, yang pemilik nama lengkap Asy Syarif Hasan Bahasim ( Puang Majjanggo) bin Sholeh bin Asy Syarif Abul Qasim Al Mahdaly Pada Tahun 1800 hingga 1900 menjadi barometer sejarah yang patut di tiru bagi generasinya dalam melawan penjajah Indonesia. Belanda saat itu

Sebagai pewaris Siar Islam dari leluhurnya, maka ke 4 putera Asy Syarif Hasan, yakni ;1. Sayyid Awi Al Mahdaly ( Puang Lawi ).2. Sayyid Umar Al Mahdaly (Puang Ummareng). 3. Sayyid Abu Al Mahdaly (Puang Abu). 4. Sayyid Husain Al Mahdaly (Puang Huseng)

Mereka masing masing memilih tempat untuk siar Islam serta berjuang melawan penjajah

Seperti perjuangan dialami Sayyid Alwi dengan anaknya bernama Sayyid Jafar Al Mahdaly (Puang Japareng)meneruskan perjuangan Abahnya di Kabupaten Soppeng dan Sidrap, hingga di penjarah oleh Belanda di Pulau Jawa bersama Andi Mattalatta. Termasuk teman seperjuangan di masa Revolusi adalah Arifin Nu’man. Bapak Agus Arifin Nu’man. Mantan Wakil Gubernur Sulsel.

Sayyid Jafar, dan Anaknya bernama Sayyid Supriadi Al Mahdaly, di Makam kan di Taman Pahlawan Bilokka Kabupaten Sidrap.

Kemudian. Sayyid Umar Al Mahdaly (Puang Ummareng) memilih tempat siar Islam dan berjuang di Kabupaten Luwu dan Wajo. Seperti di kisahkan Andi Paddengngeng. Puang Ummareng tugasnya ” Mappanguju” memberangkatkan Pejuang untuk perang melawan Belanda. Caranya dia mengumpulkan Pejuang. Lalu memanggil satu persatu, kemudian menyelipkan rumput di pinggang pejuang. Anaknya yang bernama Sayyid Muhammad Noerdin, turut berjuang, kemudian masuk tentara bersama adiknya bernama Sayyid Muhsin Yudu Al Mahdaly

Andi Paddengngeng menambahkan, Sewaktu Sayyid Umar di penjara oleh Belanda. ” saya di panggil untuk menjemputnya setelah keluar dari penjara”. Tapi ada yang aneh waktu itu, sewaktu Sayyid Umar , duduk di pinggir jalan, tidak lama kemudian, kantongnya langsung penuh dengan uang. Ungkapnya kagum

H.Sayyid Muhammad Noerdin Al Mahdaly.

Bahkan Sayyid Abdullah yang tinggal di Atapangnge Kabupaten Wajo, berceritra ” saya pernah melihat puang Sayyid Ummareng, di keroyok dengan antek Belanda dengan memakai parang dan tombak, tapi sedikitpun badannya tidak ada yang luka, hingga sipengeroyok berlari.” Lain halnya yang di kisangkan Andi Aco, mantan Kepala Pasar Siwa. Kabupaten wajo. Mengatakan, ” pernah suatu hari saya disuruh oleh Ettaku memperhatikan jika ada Puang Seyyid Umar lewat kiranya di panggil singga. Entah beberapa hari saya tunggu, baru ada. Kemudian saya panggil singgah dirumah. Waktu itu Puang Sayyid di panggil naik dirumah, tapi dia memilih duduk di kursi di bawa rumah. Tak lama kemudian Puang Sayyid bertanya kepada Ettaku. Apa keperluan. Ettaku menjawab. Durian ku Puang saya mau bunuh, karena berdekatan sekali dengan rumahku. Tidak lama kemudian durian tersebut berguguran daunnya kemudian mati” jelas Andi Aco. Takjub, waktu itu di kisahkan di Pasar Siwa di Warung Andi Sahri putri Andi Jemma ( Datu Luwu ) di saat kumpul keluarga.

Sayyid Abu Al Mahdaly memilih tempat untuk Siar Islam di Palu ( Provensi Sulawesi Tengah) Sedangkan Sayyid Husain Al Mahdaly (Puang Huseng) Memilih tempat siar Islam di Kota Pare pare dan sekitarnya.

Penulis : Andi Guntur Noerman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *