Ketika Serangan Fajar Berujung Serangan Jantung: Kajian Terhadap Insiden Politik yang Mengguncang Masyarakat

Oleh Muhammad Yusuf Buraerah, SH.

OPINI, Sinjai, (30/8/24) kosongsatunews.com  – Ketika berita tentang “serangan fajar” yang berujung pada serangan jantung mulai merebak, masyarakat tampaknya mulai membuka mata terhadap cara-cara politisasi yang ekstrem dalam dunia politik. Istilah “serangan fajar,” yang merujuk pada praktik distribusi uang atau materi oleh calon politik menjelang pemilihan umum, kini mendapatkan dimensi baru dengan insiden kesehatan yang mencemaskan. Dalam konteks ini, penting untuk membahas implikasi dari peristiwa tersebut dan bagaimana hal ini mencerminkan isu-isu lebih luas dalam praktik politik di Indonesia, terutama dalam Pilkada.

Pertama-tama, insiden ini mencerminkan dampak besar dari politik terhadap kesehatan individu, baik secara fisik maupun mental. Serangan fajar adalah bentuk praktik politik yang melibatkan distribusi uang atau barang untuk memengaruhi pilihan pemilih. Praktik ini jelas melanggar etika pemilihan, namun sering dianggap efektif dalam jangka pendek. Ketika praktik ini berujung pada masalah kesehatan seperti serangan jantung, ini menunjukkan bahwa efek dari politik yang tidak sehat bisa meluas jauh melampaui dampak politik, khususnya dalam Pilkada yang intensitasnya sering kali memuncak. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Romain W. Hering, seorang ahli politik dari Universitas Indonesia, dalam artikelnya di Tempo pada 15 Februari 2023, “Praktik serangan fajar bukan hanya merusak integritas pemilihan, tetapi juga dapat berkontribusi pada dampak kesehatan yang serius bagi para pelaku dan masyarakat.”

Kedua, insiden ini menunjukkan perlunya kontrol dan regulasi yang ketat dalam praktik politik. Jika serangan fajar bisa berujung pada kondisi kesehatan yang serius, maka sudah saatnya kita mempertanyakan efektivitas pengawasan terhadap praktik semacam ini. Regulasi yang ada mungkin belum memadai untuk menangani masalah ini dengan serius, sehingga perlu upaya lebih lanjut dari lembaga terkait untuk memperbaiki sistem pengawasan, terutama dalam Pilkada di mana persaingan sering kali sangat sengit. Menurut Dr. Aulia Rahman, seorang pakar hukum pemilihan dari Universitas Gadjah Mada, dalam wawancaranya dengan Kompas pada 22 Maret 2023, “Regulasi pemilihan perlu diperbarui agar dapat menanggulangi praktik-praktik yang tidak etis, seperti serangan fajar, dan mencegah dampak negatifnya terhadap kesehatan dan integritas pemilihan.”

Selain itu, insiden ini menyoroti dampak psikologis dari terlibat dalam politik yang penuh tekanan. Aktivitas politik yang melibatkan distribusi materi dan uang dapat menimbulkan stres tinggi bagi pelakunya. Stres ini, dalam jangka panjang, dapat memicu berbagai masalah kesehatan, termasuk penyakit jantung. Penting untuk menyadari bahwa tekanan politik yang ekstrem tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik individu, tetapi juga dapat merusak kesejahteraan mental mereka, terutama selama Pilkada yang sering menambah beban stres. Prof. Miriam Luang, seorang psikolog dari Universitas Airlangga, mengungkapkan dalam artikelnya di Jawa Pos pada 8 April 2023 bahwa, “Tekanan dalam dunia politik dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan dan berdampak serius pada kesehatan mental serta fisik, dan ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari semua pihak.”

Keterlibatan dalam politik yang penuh tekanan juga menunjukkan ketidakseimbangan dalam sistem pemilihan kita. Jika serangan fajar menjadi alat efektif untuk mempengaruhi pemilih, ini menggambarkan ketidakadilan dalam proses pemilihan itu sendiri. Masyarakat harus mulai mempertanyakan keadilan sistem pemilihan yang memungkinkan praktik semacam ini terjadi tanpa hukuman yang setimpal, terutama pada Pilkada yang sering melibatkan pengaruh materi secara signifikan. Menurut Dr. Fatima Husain, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam laporannya yang diterbitkan oleh LIPI Bulletin pada 30 Mei 2023, “Ketidakadilan dalam sistem pemilihan dapat memunculkan praktik-praktik koruptif seperti serangan fajar, yang pada gilirannya merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.”

Secara lebih luas, insiden ini menggarisbawahi perlunya reformasi dalam sistem politik dan pemilihan umum. Reformasi ini harus mencakup tindakan tegas terhadap praktik-praktik merugikan seperti serangan fajar. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga perlu ditingkatkan agar pemilih dapat memahami dan menilai calon berdasarkan kinerja dan visi, bukan berdasarkan materi yang ditawarkan. Reformasi dalam Pilkada harus menjadi agenda utama agar proses pemilihan lebih adil dan transparan. Dr. Eko Santosa, seorang analis politik dari Universitas Brawijaya, menyatakan dalam opini yang dimuat di Media Indonesia pada 12 Juni 2023, “Reformasi yang menyeluruh dalam sistem pemilihan dan pendidikan politik masyarakat adalah langkah kunci untuk mengatasi praktik tidak etis seperti serangan fajar dan memastikan keadilan dalam Pilkada.”

Selanjutnya, peran media dalam mengangkat isu ini sangat penting. Media memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat tentang praktik politik yang tidak etis dan dampaknya. Dengan liputan yang mendalam dan informatif, media dapat berkontribusi dalam mengubah pandangan publik dan mempengaruhi kebijakan yang lebih baik dalam pengaturan pemilihan umum, termasuk Pilkada yang sering menjadi medan praktik politik yang tidak sehat. Sebagaimana diungkapkan oleh Jurnalis senior, Andi Wijaya, dalam artikelnya di The Jakarta Post pada 18 Juli 2023, “Media memiliki peran strategis dalam membuka mata publik mengenai praktik-praktik korup dan tidak etis, serta mendorong perubahan yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pemilihan.”

Namun, perubahan tidak akan terjadi dalam semalam. Masyarakat dan pemangku kepentingan perlu bersabar dan terus mendukung upaya reformasi. Insiden serangan fajar yang berujung pada masalah kesehatan ini harus menjadi pengingat bahwa perubahan sistem politik memerlukan waktu dan dedikasi dari semua pihak terkait, termasuk dalam Pilkada yang sering menghadapi berbagai tantangan. Menurut Prof. Irwan Subkhan dari Universitas Padjadjaran, dalam wawancaranya dengan Republika pada 3 Agustus 2023, “Perubahan sistem politik memerlukan komitmen jangka panjang dan kolaborasi antara berbagai pihak untuk mencapai hasil yang diinginkan.”

Di samping itu, tanggung jawab individu dalam memilih juga tidak bisa diabaikan. Masyarakat harus lebih aktif dalam menolak praktik politik yang tidak etis dan memilih calon berdasarkan rekam jejak serta visi yang mereka tawarkan. Pilihan yang bijak dari pemilih akan membantu meminimalkan dampak buruk dari politik yang tidak sehat, termasuk dalam konteks Pilkada yang sering dipengaruhi oleh praktik serangan fajar. Dr. Dina Kurniawati, seorang pengamat pemilihan dari Universitas Negeri Jakarta, menekankan dalam artikelnya di Harian Merdeka pada 21 Agustus 2023, “Pemilih yang sadar dan kritis memiliki peran penting dalam menolak praktik politik yang tidak etis dan memastikan bahwa Pilkada berlangsung dengan adil.”

Terakhir, insiden ini adalah panggilan untuk introspeksi bagi semua pihak yang terlibat dalam politik. Apakah kita benar-benar siap menghadapi realitas dari praktik politik yang tidak sehat? Apakah kita dapat membangun sistem yang lebih baik untuk masa depan? Hanya waktu yang akan menjawab, namun yang pasti adalah bahwa setiap pihak memiliki peran penting dalam memastikan politik kita berjalan dengan cara yang lebih baik dan lebih adil, terutama dalam Pilkada yang menentukan nasib lokal dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Ahmad Taufik dari Universitas Hasanuddin, dalam seminar yang dimuat di Koran Sindo pada 25 September 2023, “Kita harus terus-menerus menilai dan memperbaiki sistem politik kita agar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan berkeadilan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *