Gaji Karyawan SPBU di Sulsel Minim, Sebuah Tinjauan Kritis

Oleh: Muhammad Yusuf Buraearah, SH

OPINI, Minggu (8/9/2024) kosongsatunews.com – Di berbagai daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel), gaji karyawan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menjadi topik perbincangan serius. Berdasarkan hasil wawancara langsung dan pernyataan sejumlah komponen masyarakat, diketahui bahwa gaji mereka hanya berkisar pada angka 1 hingga 2 juta rupiah per bulan. Angka ini memunculkan pertanyaan besar terkait kesejahteraan dan kelayakan hidup para pekerja tersebut. Padahal, peran karyawan SPBU dalam memastikan distribusi bahan bakar berjalan lancar sangatlah krusial.

1. Menelisik Kelayakan Upah
Dengan standar gaji hanya 1 hingga 2 juta rupiah, dapatkah seorang karyawan hidup layak? Jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup di Sulsel, terutama di daerah perkotaan seperti Makassar, jumlah tersebut jelas jauh dari kata cukup. Harga kebutuhan pokok, sewa tempat tinggal, dan biaya transportasi terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Seorang karyawan dengan gaji sebesar itu akan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, apalagi menyisihkan untuk tabungan atau pengeluaran tak terduga.

2. Standar UMP yang Tak Terpenuhi
Beberapa pihak menyatakan bahwa gaji tersebut bahkan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulsel. Di kota-kota besar seperti Makassar, UMP yang ditetapkan sudah mendekati atau bahkan melampaui 3 juta rupiah per bulan. Artinya, SPBU yang memberikan upah 1 hingga 2 juta rupiah tidak sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan yang seharusnya diterapkan di Sulsel.

3. Kondisi Kerja yang Berat
Tak hanya soal upah, karyawan SPBU di Sulsel juga dihadapkan pada kondisi kerja yang berat. Mereka harus bekerja dalam shift, berdiri berjam-jam, serta menghadapi risiko keamanan, seperti bahaya kebakaran atau tindakan kriminal. Dengan tanggung jawab dan risiko yang cukup tinggi, gaji 1 hingga 2 juta rupiah tentu sangat tidak memadai.

4. Dampak Terhadap Kesejahteraan Karyawan
Minimnya gaji ini berdampak langsung pada kesejahteraan karyawan. Banyak dari mereka yang harus mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ada pula yang terpaksa meminjam uang atau berutang demi menutupi kebutuhan mendesak. Tekanan finansial ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik para pekerja, yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas kerja.

5. Ketimpangan Antara Karyawan dan Pengusaha
Yang menjadi sorotan adalah ketimpangan antara keuntungan yang diraup pengusaha SPBU dengan gaji yang diterima karyawan. SPBU adalah salah satu bisnis yang relatif stabil, terutama dengan tingginya kebutuhan bahan bakar di Sulsel. Namun, sayangnya, keuntungan tersebut tidak merata dirasakan oleh para pekerjanya. Ada kesan bahwa sebagian pengusaha lebih mementingkan keuntungan pribadi dibandingkan kesejahteraan karyawan.

6. Peran Pemerintah dalam Mengawasi
Seharusnya, pemerintah daerah Sulsel dan dinas terkait lebih proaktif dalam mengawasi penerapan UMP di setiap sektor, termasuk SPBU. Pengusaha yang membayar di bawah standar harus diberikan teguran atau sanksi. Karyawan SPBU berhak mendapatkan gaji yang layak sesuai dengan hukum yang berlaku. Pemerintah harus memastikan hak-hak pekerja dilindungi dan terpenuhi.

7. Pentingnya Serikat Pekerja
Serikat pekerja di sektor SPBU perlu diberdayakan untuk memperjuangkan kesejahteraan karyawan. Dalam situasi seperti ini, serikat pekerja bisa menjadi wadah bagi karyawan untuk bersuara dan menyampaikan aspirasi mereka. Melalui serikat, pekerja dapat menuntut perbaikan gaji, tunjangan kesehatan, dan kondisi kerja yang lebih baik.

8. Perbandingan dengan Daerah Lain
Jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, Sulsel bukanlah satu-satunya tempat dengan gaji minim di sektor SPBU. Namun, di beberapa provinsi lain, sudah ada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, seperti di Jakarta dan Jawa Barat, di mana karyawan SPBU mendapatkan gaji yang mendekati UMP setempat. Contoh-contoh ini bisa menjadi inspirasi bagi Sulsel untuk memperbaiki kondisi yang ada.

9. Perlunya Evaluasi Bisnis SPBU
Para pengusaha SPBU di Sulsel perlu melakukan evaluasi terhadap model bisnis mereka. Jika mereka terus memberikan upah yang sangat minim, pada akhirnya bisa berdampak negatif pada kinerja dan reputasi bisnis itu sendiri. Sumber daya manusia yang kurang sejahtera cenderung kurang produktif dan tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada konsumen.

10. Mendorong Kesadaran Publik
Masyarakat juga perlu lebih peduli terhadap isu ini. Konsumen SPBU bisa memberikan dukungan moral kepada para karyawan dengan tidak hanya menuntut pelayanan yang cepat, tetapi juga dengan mengadvokasi hak-hak karyawan. Kesadaran publik yang meningkat dapat menjadi pendorong bagi perubahan sistem upah di sektor ini.

11. Peranan Negara dalam Kesejahteraan Rakyat
Negara memiliki peran krusial dalam memastikan kesejahteraan rakyat, termasuk dalam hal perlindungan hak-hak pekerja. Dalam konteks karyawan SPBU di Sulsel, pemerintah harus hadir untuk memastikan bahwa regulasi mengenai upah minimum diterapkan dengan benar dan diawasi secara ketat. Pemerintah pusat maupun daerah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan para pekerja memperoleh upah yang layak sesuai dengan standar kehidupan yang layak. Selain itu, program-program jaminan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan, harus diakses oleh seluruh pekerja, termasuk karyawan SPBU, untuk memberikan perlindungan jangka panjang terkait kesehatan dan kecelakaan kerja.

12. Hukum yang Mengatur Peran Negara dalam Kesejahteraan Rakyat
Peran negara dalam memastikan kesejahteraan pekerja sudah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2), yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Di samping itu, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerjaan dan memastikan adanya perlindungan bagi tenaga kerja, termasuk dalam hal upah minimum. UU ini memberikan landasan hukum bagi pemerintah dan pekerja untuk menuntut hak-hak yang adil, terutama terkait penggajian yang layak dan kondisi kerja yang aman.

13. Sanksi Bagi Pelanggaran Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga memuat ketentuan mengenai sanksi bagi pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan, termasuk pembayaran upah di bawah standar. Berdasarkan Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Jika melanggar, maka pengusaha dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta sesuai Pasal 185 UU tersebut.

14. Implementasi Hukum untuk Kesejahteraan yang Merata
Meski sudah ada landasan hukum yang kuat, implementasi peraturan ini masih perlu ditingkatkan, terutama di sektor-sektor tertentu seperti SPBU. Pengawasan yang konsisten dan sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan ketenagakerjaan menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa kesejahteraan karyawan tidak hanya menjadi teori di atas kertas, tetapi benar-benar diterapkan di lapangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *