Hablum Minallah wa Hablum Minannas, adalah Jalan Tunggal ?

 

Ketika diri senantiasa dalam kedekatan/pendekatan pada sebagian besar sifat-sifat Allah, maka secara langsung atau tak langsung hablum minallah wa hablum minannas, akan terkoneksi secara otomatis dan tepat, terlihat atau tak terlihat, tanpa menyalahi tuntunan yang ada.

Umumnya aturan tiap agama yang pernah diturunkan oleh Allah SWT, di muka bumi ini, mempunyai muara yang sama. Sepanjang aturan agama tersebut, tidak dinodai oleh tangan-tangan kotor yang digerakkan oleh tentara iblis, yang bermaksud melecehkan dan melencengkan kebenaran tujuan yang suci.

Diduga, hablum minallah wa hablum minannas, adalah satu-satunya jalan tunggal menuju dan meraih muara dari semua agama yang pernah diturunkan oleh Allah SWT, termasuk Agama Islam sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Sang Pencipta semua makhluk.

Hablum minallah, menjaga konektivitas agar senantiasa kita selalu tetap berada pada jalur frekwensi Allah SWT. Hablum minannas, diri dalam maksimalitas untuk selalu menghadirkan harmonisasi komunikasi dengan sesama makhluk, khususnya sesama manusia. Berusaha maksimal, dalam menjaga ketersinggungan atau selalu menghindari menyakiti hati orang lain. Mengalah dengan sabar, lebih baik daripada selalu menang tapi selalu pula orang lain tersakiti.

Beribadah dan berbuat baik serta menghindari menyakiti orang lain, itulah hakikinya manusia dihadirkan oleh Allah SWT, di dunia ini. Bukan memupuk egoisme, mempertahankan/menumpuk kesalahan diri demi tercapainya tujuan.

Kita berhak hidup dan menikmati fasilitas yang ada di dunia dengan ikhtiar dan doa, tapi orang lain pun juga berhak untuk itu. Hindari keserakahan, dengan lapang dada memberi pula kesempatan pada orang lain untuk kaya dan sukses. Jika, diri telah kaya dan sukses, maka hendaknya berlapang dada untuk memberi kesempatan pada orang lain, bukan tetap bertahan, hingga orang lain tertutup jalan untuk menikmati/mendapatkan hal yang sama. Hakekatnya, tujuan akhir keberadaan kita, tidak terdapat di dunia, tapi ada di akherat.

Hendaknya pula, dalam mengejar dan meraih kaya, sukses serta berkuasa, janganlah menghalalkan segala cara, bahkan sampai hati menyakiti dan mempermalukan orang lain. Mungkin, kita dengan kolaborasi berbagai pihak (apalagi penguasa), dapat menundukkan orang lain atau orang banyak.

Tapi, pernahkah kita berpikir, bahwa ada beberapa malaikat petugas Allah yang selalu ada dan mengawasi diri (24 jam sehari) ? Pernahkah pula kita renungkan dan pahami, bahwa segala perbuatan itu ada pembalasan ? Apakah kita mengetahui, bahwa pembalasan itu tidak saja di akherat, tapi juga di dunia ? Sangat banyak contoh, telah Allah paparkan dalam semua kitab sucinya dan juga melalui rasul-rasul-Nya. Juga, sangat banyak contoh Allah perlihatkan secara langsung dalam kehidupan kita di dunia ini.

Pernahkah kita menganalisa, mencermati serta memikirkan, bahwa raja Fir’aun adalah seorang raja/penguasa yang memiliki kekuasaan hampir-hampir saja tak terbatas (saking besarnya kekuasaannya). Banyak rakyat di zamannya, yang mau tak mau harus mengakui bahwa Fir’aun adalah tuhannya. Fir’aun telah menyalahgunakan pengaruh yang dia miliki serta jabatan yang ada padanya.

Lalu bagaimanakah kesudahan Fir’aun ? Apa dirinya tak mendapatkan balasan di dunia dan di akherat ?

Janganlah lelah untuk berbuat baik, dan janganlah tergoda untuk sesekali bereksperimen yang bermuara menyakiti sesama manusia, walaupun eksperimen itu termasuk cara jitu, memuluskan tercapainya target yang akan diraih.

Kemanunggalan atau pun berkekalannya hablum minallah, dapat dihadirkan bila dipadupadankan dengan keselarasan hablum minannas. Ini adalah satu paket yang tak dapat dipisahkan. Tak ada Allah, jika tak ada hamba. Tak ada hamba, jika tak ada Allah. Kemanunggalan Allah dan hamba. Kemanunggalan Allah dan hamba, dapat hadir bila kita mampu mengejawantahkan kolaborasi harmonisasi komunikasi, antara hablum minallah dengan hablum minannas.

Umumnya, jika sesuatu diraih dengan cara kurang benar, tentunya akan sulit pula hadir keberkahan di dalamnya. Mungkin, kita dengan mudah dapat meraih kaya, sukses dan berkuasa. Tapi, berkemungkinan besar sepanjang hidup kita, akan terus dihantui oleh keburukan-keburukan yang telah diperbuat. Ketenangan batin akan jauh, kegelisahan senantiasa akrab menyelimuti diri seumur hidup.

Boleh jadi, dengan mudahnya kita dapat memperbodoh sesama kita manusia, sehingga semua keinginan kita dapat dicapai. Lalu, apa kita mampu pula memperbodoh Allah dan para pesuruh-pesuruh-Nya ? Apakah Allah dan para pesuruh-Nya, akan diam saja melihat keburukan yang dilakukan ?

Sehari-hari kita rajin shalat, puasa, dan keluarkan zakat. Tapi, secara bersamaan diri pun seringkali menyakiti orang lain. Jika hablum minallah bagus, sedangkan hablum minannas kurang bagus, masih dapatkah orang ini dikatakan orang yang beriman ?

Jangan mengatakan beriman jika belum Allah uji. Allah Ta’ala berfirman dalam al Qur’an,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? “ (Qs. Al ‘Ankabuut : 2).

Dan, tentunya salah satu ujian Allah SWT adalah bagaimana atau sejauh mana kita mengaplikasikan hablum minannas, dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Apakah diri termasuk kikir, super kikir, atau dermawan ? Apakah diri sering membantu orang lain, tanpa orang lain memintanya ? Ataukah diri termasuk dalam gabungan, sering menyakiti orang lain, kikir, arogan dan tak peduli kesusahan orang lain ?

Dikutip, dari kitab “Ihya Ulumuddin” yang terdiri dari 7 jilid dan karangan dari Imam Besar Al-Ghazali, disebutkan bahwa surga setelah diciptakan oleh Allah SWT, maka Allah SWT berfirman, memerintahkan kepada surga untuk berbicara atau melakukan permintaan.

“Wahai surga berbicaralah (mintalah) !”
Surga pun berkata/melakukan permintaan kepada Allah SWT.
“Ya Allah, janganlah masukkan kemari, orang-orang yang kikir” (hadits).

Hanya satu perkataan/permintaan dari surga, yakni meminta kepada Allah untuk tidak memasukkan orang kikir ke dalam surga, tak ada perkataan lain. Disebutkan, bahwa buku Ihya Ulumuddin ini, digolongkan oleh seluruh ulama di dunia, termasuk/menempati rangking ke-3, setelah Al-Qur’an dan Al-hadits. (Wallahu A’lam Bis-Shawabi).

Teriring ucapan “Selamat Memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, 12 Rabiul Awwal 1446 H”.

SYAHRIR AR
Indonesia, Gowa, 12 Rabiul Awwal 1446 H/2024.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *