Jakarta – Kasus pungli di SMPN 1 Tembilahan Hulu, Indragiri Hilir, Riau, telah viral di media-media online maupun media sosial. Berbagai pihak menyatakan prihatin dan menyayangkan hal buruk semacam itu masih terjadi di sekolah-sekolah, terutama di SMPN 1 Tembilahan yang semestinya menjadi contoh pengelolaan sekolah tanpa pungli.
Pungli adalah singkatan dari frasa ‘pungutan liar’. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada segala bentuk pungutan uang atau dana yang tidak resmi dan tidak memiliki dasar hukum. Hampir dipastikan kasus pungli terjadi karena penyalahgunaan wewenang dan atau jabatan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan pungli diatur sebagai pelanggaran hukum. Pelaku pungli dapat jerat dengan dugaan melakukan tindak pidana pelanggaran Pasal 368 KUHP. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa siapa pun yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, dapat diancam dengan pidana penjara hingga sembilan tahun.
Sebelumnya, KUHP telah mengidentifikasi transaksi haram alias melawan hukum ini dengan beberapa istilah, yakni pemerasan (Pasal 368), gratifikasi/hadiah (Pasal 418), serta perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 23). Pungli terjadi di hampir semua sektor kehidupan dan komunitas masyarakat serta lembaga, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Banyak sekolah di Indonesia terjerat kasus pungli. Bahkan hampir di semua daerah dijumpai praktek pungli dengan berbagai modus. Contohnya, pungutan biaya kepada orang tua siswa melalui pembelian pakaian seragam, pembelian buku ajar, biaya les belajar, praktek memasak, kegiatan tour, dan lain sebagainya. Penarikan biaya tersebut dilakukan tanpa dasar hukum atau tidak sesuai dengan kesepakatan para pemangku kepentingan.
Pungli termasuk ke dalam kategori kejahatan jabatan, yaitu penyalahgunaan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Hukumannya dapat berupa sanksi pidana, seperti penjara dan denda, tergantung pada perbuatan pidana yang dilakukan. Pungli juga termasuk dalam Undang-Undang Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 22 Tahun 2001) sebagai tindakan korupsi yang harus diberantas.
Di Indonesia, Pemerintah memandang pungli sebagai perkara serius yang harus dibasmi. Pungli mengakibatkan biaya tinggi di semua bidang yang menyangkut transaksi barang dan jasa. Oleh karena itu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Satgas Saber Pungli ini diharapkan mampu memberantas pungutan liar di semua kementerian/lembaga dan instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Terkait kasus pungli di SMPN 1 Tembilahan, Indragiri Hilir, di atas, pimpinan sekolah itu, Saruji, harus dimintai pertanggungjawaban atas praktek pungli yang telah ramai diberitakan baru-baru ini. Yang bersangkutan dapat dikenai hukuman pidana sesuai dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman penjara hingga sembilan tahun.
Selain pidana penjara, oknum terduga pelaku pungli, Saruji, bersama sejumlah koleganya dapat dikenai denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena yang bersangkutan adalah seorang pegawai negeri dan/atau pejabat, maka dia harus diberhentikan dari jabatannya.
Pemerhati pendidikan Indonesia yang juga merupakan Guru PMP-KN SMPN Sapat, Kuala Indragiri, Inhil periode 1990-1993, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, mengatakan bahwa pemberian sanksi berat harus diterapkan terhadap pelaku pungli di SMPN 1 Tembilahan Hulu. Hal ini, menurutnya, karena akan menjadi barometer bagi para kepala sekola dan guru-guru di sana dalam keseharian mereka di sekolah di masa mendatang.
“Jika hanya disanksi pencopotan jabatan dan atau penurunan pangkat, hal itu akan menjadi bahan tertawaan dan olok-olok, dianggap hanya sebuah permainan hukum saja, sementara pungli akan tetap marak terjadi di sekolah-sekolah. Lebih parahnya, mereka akan melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Perilaku semacam ini akan menurun kepada anak didik mereka, sehingga kelak akan muncul polisi pemeras, pedagang curang, guru pungli, pejabat korup, dan seterusnya,” jelas Wilson Lalengke yang merupakan lulusan pasca sarjana bidang Etika Terapan dari Universitas Utrecht (Belanda) dan Universitas Linkoping (Swedia), Senin, 14 Oktober 2024. (APL/Red)