Penulis: Muhammad Yusuf Buraearah, SH
OPINI – Masa tenang Pemilu serentak tahun 2024, yang berlangsung pada 24–26 November, seharusnya menjadi waktu yang sakral bagi masyarakat untuk merenungkan pilihannya. Namun, apakah realitas di lapangan sudah mencerminkan harapan tersebut? Dalam praktiknya, masa tenang sering kali masih diwarnai pelanggaran, seperti kampanye terselubung di media sosial atau penyebaran isu-isu yang berpotensi memecah belah masyarakat. Situasi ini menggambarkan bahwa sebagian aktor politik masih memprioritaskan kemenangan di atas integritas demokrasi.
Aturan tegas yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 276 Ayat (2) dan Pasal 280 Ayat (1), sudah seharusnya menjadi pedoman. Masa kampanye yang berakhir tiga hari sebelum pemungutan suara memberikan ruang yang adil bagi pemilih untuk mempertimbangkan pilihannya tanpa tekanan. Namun, dalam banyak kasus, pelanggaran tetap terjadi. Apakah sanksi yang ada, seperti pidana penjara hingga empat tahun dan denda maksimal Rp48 juta sebagaimana diatur Pasal 523 Ayat (2), sudah cukup efektif?
Masa tenang tidak sekadar aturan formalitas, melainkan bagian dari proses demokrasi yang sehat. Tanpa masa tenang yang benar-benar bebas dari kampanye, pemilih berisiko terpengaruh oleh propaganda terakhir yang sering kali mengabaikan substansi program. Fenomena ini menunjukkan bahwa kedewasaan demokrasi kita masih membutuhkan penguatan, baik dari sisi penegakan hukum maupun kesadaran politik para pelaku.
Selain itu, peran masyarakat sebagai pengawas demokrasi sangat penting. Jika pemilih tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pengawasan, masa tenang hanya akan menjadi aturan di atas kertas. Bawaslu melalui slogan “Ayo Awasi Bersama” sudah mengirimkan sinyal bahwa masyarakat memiliki kekuatan untuk menjaga kualitas pemilu. Namun, apakah masyarakat benar-benar merasa memiliki peran dalam pengawasan ini?
Di sisi lain, para peserta pemilu perlu menunjukkan komitmennya terhadap aturan main. Kepatuhan pada larangan kampanye selama masa tenang adalah wujud penghormatan terhadap pemilih dan proses demokrasi itu sendiri. Jika mereka mengabaikan aturan ini, bagaimana publik dapat mempercayai komitmen mereka terhadap hukum di masa mendatang? Pertanyaan ini penting untuk dijadikan refleksi bersama.
Setelah masa tenang berlalu, fokus masyarakat harus beralih pada momentum pemungutan suara pada Rabu, 27 November 2024. Di sinilah peran pemilih menjadi krusial. Dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan menggunakan hak pilih, masyarakat tidak hanya menegaskan kedaulatannya, tetapi juga berkontribusi pada legitimasi pemerintahan yang akan datang. Apatisme terhadap pemilu hanya akan membuka ruang bagi aktor-aktor politik yang mungkin tidak merepresentasikan aspirasi rakyat.
Setiap suara memiliki nilai yang sama dan kekuatan yang besar dalam menentukan arah bangsa. Partisipasi dalam pemilu bukan hanya hak, melainkan kewajiban moral untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah mereka yang benar-benar memiliki kapasitas dan komitmen pada kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, mari manfaatkan Rabu, 27 November 2024, untuk menyalurkan suara dengan bijak. Pemilu adalah tonggak penting dalam perjalanan demokrasi bangsa. Partisipasi aktif kita semua adalah wujud nyata cinta terhadap Indonesia dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Masa tenang adalah waktu refleksi, dan hari pemungutan suara adalah aksi nyata untuk perubahan. Jangan sia-siakan kesempatan ini.