Penulis: Muhammad Yusuf Buraearah
OPINI – Pilkada 2024 telah selesai, meninggalkan tanggung jawab besar untuk menjaga stabilitas pasca-kontestasi. Stabilitas antara pemenang dan rival menjadi kunci dalam memastikan transisi kepemimpinan berjalan lancar. Tanpa adanya kerjasama dan sikap saling menghormati, potensi konflik dapat terjadi dan berdampak pada proses pelantikan yang seharusnya menjadi puncak dari perjalanan demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, pihak yang kalah memiliki peran besar dalam menjaga situasi tetap damai. Ketika rival menerima hasil pemilu dengan lapang dada, stabilitas sosial dan politik akan tetap terjaga. Namun, ketidaksportifan sering kali memicu gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang menjadi hak hukum berdasarkan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Proses gugatan ini dapat memakan waktu dan berdampak langsung pada jadwal pelantikan kepala daerah terpilih.
Berdasarkan jadwal, kepala daerah hasil Pilkada 2024 yang tidak menghadapi gugatan akan dilantik pada Februari 2025. Namun, jika terjadi gugatan ke MK, pelantikan bisa tertunda hingga September 2025. Penundaan ini tentu merugikan masyarakat yang menunggu realisasi program-program kerja kepala daerah baru. Proses pemerintahan sementara harus tetap berjalan di bawah kendali penjabat kepala daerah.
Pemenang Pilkada memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas. Tindakan yang provokatif atau selebrasi berlebihan harus dihindari, karena hal ini dapat memicu ketidakpuasan dan mendorong rival untuk mengambil langkah hukum. Sebaliknya, menunjukkan sikap rendah hati dan merangkul semua pihak, termasuk pendukung rival, adalah cara untuk memperkuat kepercayaan publik dan meredam potensi konflik.
Rival yang memilih jalur hukum juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses gugatan tidak hanya didasarkan pada ketidakpuasan, tetapi pada bukti kuat. Mahkamah Konstitusi hanya menerima gugatan yang memenuhi syarat, termasuk adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada. Dengan begitu, gugatan yang diajukan benar-benar mencerminkan upaya menjaga keadilan, bukan sekadar memperpanjang konflik.
Peran lembaga penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, juga sangat penting dalam menjaga kepercayaan publik. Transparansi dalam penyelenggaraan dan profesionalisme dalam menyelesaikan sengketa akan membantu mencegah eskalasi konflik. Masyarakat juga memiliki andil dalam menjaga stabilitas dengan mendorong dialog yang sehat dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi.
Pelajaran penting dari pilkada adalah bahwa stabilitas pasca-kontestasi bukan hanya tanggung jawab pemenang atau rival, tetapi semua pihak yang terlibat. Ketika kedua belah pihak mampu bekerja sama untuk mengutamakan kepentingan masyarakat, proses pemerintahan akan berjalan lebih efektif, tanpa hambatan berarti.
Stabilitas yang terjaga setelah Pilkada menjadi indikator keberhasilan demokrasi. Keberhasilan ini bukan hanya diukur dari kelancaran pemilu, tetapi juga dari kemampuan semua pihak untuk menerima hasilnya dengan kedewasaan. Hal ini menjadi teladan bagi seluruh daerah dalam membangun demokrasi yang kokoh dan kepercayaan publik yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, kemenangan sejati dalam pilkada adalah ketika semua pihak mampu menjaga stabilitas sosial dan politik demi kesejahteraan bersama. Demokrasi yang kuat hanya bisa terwujud melalui kedewasaan semua elemen masyarakat, sehingga kontestasi politik tidak meninggalkan polarisasi, melainkan menjadi landasan untuk kemajuan bersama.