JOB FIT ESELON II DI MAMASA DINILAI SARAT KEPENTINGAN KELUARGA, JARINGAN AKTIVIS MAMASA AKAN LAPORKAN KE KASN DAN OMBUDSMAN

Mamasa-Proses pelaksanaan job fit atau uji kesesuaian pejabat eselon II di Kabupaten Mamasa menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Jaringan Aktivis Mamasa (JAM), melalui pernyataan sikap yang disampaikan oleh Yustianto Tallulembang bersama dua rekannya Tambrin dan Ryan Mewa’, menilai bahwa proses tersebut sarat dengan konflik kepentingan dan dugaan praktik nepotisme.

Menurut Yustianto, salah satu anggota panitia seleksi (pansel) diketahui memiliki hubungan darah yang sangat dekat dengan salah satu peserta job fit yang dikabarkan kuat akan menempati jabatan strategis Kepala Badan Keuangan Daerah. Kondisi ini, kata dia, mencederai prinsip obyektivitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam manajemen ASN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

“Kami melihat proses job fit di Mamasa tidak mencerminkan meritokrasi. Bagaimana publik bisa percaya pada hasil seleksi jika salah satu pansel punya hubungan keluarga dengan peserta? Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi bentuk nyata konflik kepentingan yang mengancam profesionalisme birokrasi,” tegas Yustianto Tallulembang dari Jaringan Aktivis Mamasa.

Lebih lanjut, JAM menilai panitia seleksi tidak memiliki dasar objektif dalam menilai talenta setiap peserta. Pasalnya, hingga kini Kabupaten Mamasa belum memiliki peta jabatan maupun sistem manajemen talenta ASN sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri PANRB Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta ASN.

“Bagaimana mungkin pansel bisa menilai kesesuaian jabatan kalau peta talenta ASN saja belum dibuat? Tidak ada dasar ilmiah dan administratif yang bisa dipertanggungjawabkan. Proses ini terkesan hanya formalitas untuk melegitimasi keputusan politik,” tambah Tambrin.

Dalam konteks regulasi, pelaksanaan job fit seharusnya menjadi instrumen dalam penerapan sistem merit, yakni menempatkan seseorang pada jabatan tertentu berdasarkan kompetensi, kinerja, dan potensi, bukan berdasarkan hubungan personal atau politik.

Selain itu, Bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) memiliki tanggung jawab untuk memastikan seluruh tahapan seleksi berjalan objektif dan bebas intervensi, sesuai amanat Pasal 127 PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Namun, menurut Ryan Mewa’, justru yang terjadi adalah campur tangan politik keluarga dan kompromi jabatan yang merusak sistem birokrasi daerah.

“Kita bukan menolak job fit, tapi menolak praktik manipulatif di baliknya. Job fit seharusnya jadi ruang bagi ASN berprestasi untuk naik karena kemampuan, bukan karena hubungan darah atau kedekatan politik,” ujar Ryan dengan nada tegas.

Jaringan Aktivis Mamasa memastikan akan melaporkan dugaan pelanggaran etik dan prosedur ini ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Ombudsman Republik Indonesia, agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses dan komposisi pansel di Kabupaten Mamasa.

Sebagai penutup, Yustianto menegaskan bahwa kritik mereka bukan untuk menjatuhkan siapapun, melainkan mengembalikan marwah birokrasi Mamasa agar bersih, profesional, dan berpihak pada prinsip meritokrasi.

“Kami hanya ingin birokrasi Mamasa dikelola oleh orang-orang terbaik berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan garis keturunan. Kalau dibiarkan, ini akan jadi preseden buruk bagi reformasi birokrasi daerah,” tutup Yustianto. (Ayu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *