Oleh Muhammad Yusuf Buraerah, SH.
RENUNGAN REDAKSI, Sinjai, 23 Agustus 2024, kosongsatunews.com- Dalam arena politik, kebohongan sering kali menjadi alat yang digunakan untuk mencapai tujuan jangka pendek. Politik, dengan segala kompleksitasnya, sering kali dipenuhi dengan intrik dan strategi yang melibatkan penyampaian informasi yang tidak selalu akurat. Kebohongan bukan hanya masalah etika, tetapi juga menjadi isu yang mengancam kepercayaan publik dan integritas sistem demokrasi.
Kebohongan ini tidak hanya merusak reputasi individu, tetapi juga memperburuk keadaan sistemik. Seperti yang dikemukakan oleh ahli psikologi politik, Philip E. Tetlock, dalam bukunya Expert Political Judgment (2005), kebohongan dalam politik sering kali memanfaatkan bias konfirmasi untuk memperkuat narasi yang salah. Hal ini berimplikasi bahwa kebohongan pertama kali disampaikan sering kali digeneralisasikan dan dipertahankan dengan informasi tambahan yang tidak akurat. Pendekatan ini memperjelas bagaimana kebohongan bukan hanya tentang menyampaikan informasi yang salah tetapi juga tentang bagaimana informasi yang salah dipertahankan dan diperluas.
Ketika seorang politisi memutuskan untuk berbohong, mereka seringkali melakukan hal tersebut dengan alasan pragmatis, yaitu untuk melindungi atau memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Namun, kebohongan ini seringkali tidak berdiri sendiri; ia memicu serangkaian kebohongan lainnya untuk menutupi jejak dan menciptakan narasi yang lebih meyakinkan. Inilah yang dikenal sebagai “rantai kebohongan,” di mana satu kebohongan memerlukan tambahan kebohongan untuk mempertahankannya. Seperti yang dijelaskan oleh ilmuwan politik, Robert A. Dahl, dalam karya klasiknya Democracy and Its Critics (1989), sistem demokrasi dapat terganggu secara signifikan jika kebohongan menjadi bagian dari strategi politik. Rantai kebohongan ini dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan dibuat dan diterima, menciptakan ketidakpastian dan keraguan di kalangan masyarakat.
Rantai kebohongan ini dapat dimulai dari sesuatu yang tampaknya sepele, seperti pernyataan yang sedikit dibesar-besarkan atau fakta yang dipelintir. Namun, seiring waktu, kebohongan kecil ini dapat berkembang menjadi masalah yang lebih besar. Setiap kebohongan yang diciptakan untuk menutupi kesalahan awal sering kali membutuhkan kebohongan tambahan, menciptakan jaringan kompleks dari informasi yang salah. Daniel Kahneman, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow (2011), menjelaskan bagaimana kognisi manusia sering kali cepat menerima informasi yang sesuai dengan harapan, dan ini dapat memperparah dampak kebohongan yang tersebar. Dengan semakin kompleksnya kebohongan yang dibangun, masyarakat semakin sulit membedakan antara fakta dan fiksi.
Contoh klasik dari fenomena ini dapat ditemukan dalam skandal politik yang melibatkan penyembunyian fakta atau manipulasi data. Ketika seorang pejabat atau kandidat terlibat dalam praktik-praktik tersebut, mereka mungkin mulai dengan kebohongan kecil yang tampaknya tidak signifikan. Namun, untuk menjaga agar kebohongan ini tetap konsisten dan tidak terdeteksi, mereka harus terus-menerus menambah lapisan kebohongan lain. Sebagaimana dikemukakan oleh ahli teori politik, John Mearsheimer, dalam The Tragedy of Great Power Politics (2001), kebohongan dalam konteks kekuasaan besar sering kali berfungsi untuk mengalihkan perhatian dan mengamankan posisi politik. Ini menunjukkan bagaimana kebohongan dapat berfungsi sebagai alat strategis dalam politik, meskipun dampaknya sering kali merugikan dalam jangka panjang.
Salah satu dampak utama dari kebohongan yang terus menerus ini adalah penurunan kepercayaan publik terhadap politisi dan lembaga pemerintah. Ketika masyarakat mulai merasa bahwa mereka tidak dapat mempercayai informasi yang disampaikan oleh pemimpin mereka, maka legitimasi dan efektivitas pemerintahan akan terganggu. Ini dapat mengarah pada meningkatnya skeptisisme dan cynicism di kalangan warga negara, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi partisipasi dalam proses demokrasi. Ahli sosiologi, Robert Putnam, dalam Bowling Alone (2000), menunjukkan bagaimana menurunnya kepercayaan sosial dapat mengakibatkan penurunan keterlibatan masyarakat dalam kehidupan publik. Penurunan keterlibatan ini tidak hanya melemahkan demokrasi tetapi juga dapat memperburuk masalah sosial yang lebih luas.
Dalam jangka panjang, kebohongan dalam politik juga dapat merusak reputasi individu yang terlibat. Meskipun kebohongan mungkin berhasil dalam jangka pendek, sering kali ada konsekuensi yang tidak terhindarkan ketika kebenaran akhirnya terungkap. Politisi yang terlibat dalam kebohongan akan menghadapi kesulitan dalam membangun kembali kredibilitas mereka, dan ini bisa mempengaruhi peluang mereka dalam pemilihan mendatang. Menurut penelitian oleh James M. Nolan dalam Political Reputation and the Use of Disinformation (2017), reputasi politik yang rusak dapat sulit diperbaiki dan seringkali mempengaruhi stabilitas politik dalam jangka panjang. Reputasi yang tercoreng dapat membuat pemilih meragukan niat dan komitmen para politisi, mengganggu proses pemilihan dan pemerintahan.
Untuk mengatasi masalah kebohongan ini, penting bagi media dan lembaga pengawas untuk memainkan peran aktif dalam mengekspos dan mengklarifikasi informasi yang salah. Jurnalis, sebagai bagian dari pilar demokrasi, memiliki tanggung jawab penting dalam membongkar kebohongan politik dan memverifikasi informasi. Melalui penyelidikan yang mendalam dan pelaporan yang akurat, jurnalis dapat mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi dan memberikan transparansi kepada publik. Sebagaimana dinyatakan oleh jurnalis investigatif terkenal, Seymour Hersh, dalam karyanya Chain of Command (2004), pekerjaan jurnalis sering kali melibatkan mengungkap kebohongan dan korupsi untuk menjaga akuntabilitas dan integritas. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran media dalam menjaga keadilan dan transparansi di dunia politik.
Demikian pula, pendidikan politik dan literasi media juga memainkan peran krusial dalam membantu masyarakat memahami dan mengevaluasi informasi yang mereka terima. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana informasi dapat dimanipulasi, warga negara akan lebih mampu mengidentifikasi dan menanggapi kebohongan dalam politik dengan cara yang lebih kritis dan konstruktif. Howard Gardner, dalam bukunya Frames of Mind (1983), menekankan pentingnya pendidikan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis yang diperlukan untuk memahami kompleksitas informasi. Pendidikan yang efektif dapat memberdayakan masyarakat untuk menjadi lebih sadar dan waspada terhadap upaya manipulasi informasi.
Namun, mencegah kebohongan dalam politik bukanlah tugas yang mudah. Sistem yang ada sering kali memungkinkan bagi kebohongan untuk berkembang dan menyebar dengan cepat. Oleh karena itu, reformasi dalam sistem politik dan pemerintahan yang lebih transparan dapat membantu meminimalkan peluang terjadinya kebohongan dan manipulasi. Sebagaimana disarankan oleh ahli reformasi politik, Larry Diamond, dalam *The Spirit of Democracy* (2008), transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk memperkuat integritas politik. Sistem yang terbuka dan akuntabel memberikan ruang yang lebih kecil bagi kebohongan untuk berkembang.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memperkuat undang-undang dan regulasi yang mengatur pelaporan dan verifikasi informasi. Dengan adanya aturan yang jelas dan sanksi yang tegas bagi mereka yang terlibat dalam penyebaran informasi palsu, diharapkan dapat menurunkan tingkat kebohongan yang terjadi dalam politik. Menurut Thomas Carothers, dalam Promoting Democracy and Rule of Law (2010), kerangka hukum yang solid dapat membatasi ruang gerak bagi praktik-praktik yang merusak integritas politik. Undang-undang yang efektif dapat menjadi pencegah kuat terhadap penyebaran kebohongan yang merusak kepercayaan publik.
Di sisi lain, politikus sendiri perlu diingatkan tentang tanggung jawab moral dan etika mereka. Memahami dampak dari kebohongan terhadap masyarakat dan sistem demokrasi dapat menjadi motivasi tambahan untuk bertindak dengan integritas. Menjaga transparansi dan kejujuran dalam setiap tindakan dan pernyataan mereka adalah langkah penting dalam membangun kembali kepercayaan publik. Seperti yang dinyatakan oleh filusuf politik, Hannah Arendt, dalam The Origins of Totalitarianism (1951), etika politik yang kuat adalah fondasi untuk pemerintahan yang sehat dan demokratis. Mematuhi etika dan prinsip-prinsip kejujuran merupakan kunci untuk menjaga legitimasi dan kepercayaan dalam sistem politik.
Konteks Pilkada Serentak 2024 semakin menekankan pentingnya memerangi kebohongan politik. Dengan berbagai kandidat yang berlomba untuk mendapatkan dukungan publik, adanya kebohongan dan manipulasi informasi bisa mempengaruhi keputusan pemilih. Berita palsu dan informasi yang menyesatkan dapat merusak proses demokrasi dengan mengaburkan pilihan pemilih dan mengurangi kepercayaan pada hasil pemilihan. Oleh karena itu, integritas dan kejujuran dalam kampanye harus diprioritaskan untuk menjaga legitimasi hasil Pilkada. Ini menggarisbawahi perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap proses pemilihan untuk memastikan keadilan.
Pilkada Serentak 2024 juga menyoroti pentingnya integritas dalam politik dan potensi bahaya kebohongan. Dalam perspektif Islam, kebohongan dianggap sangat serius dan memiliki dampak negatif yang signifikan. Al-Qur’an dengan tegas mengecam kebohongan dan penipuan, karena dampaknya yang merusak kepercayaan dan keharmonisan dalam masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
1. “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 42). Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu berbicara kebenaran dan tidak mencampuradukkan kebenaran dengan kebohongan.
2. “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70). Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk selalu mengatakan yang benar, yang menunjukkan betapa pentingnya kejujuran dalam setiap ucapan dan tindakan.
3. “Mereka hanya menunggu satu teriakan saja yang akan memukul mereka ketika mereka sedang dalam kubur, lalu mereka tidak akan bisa bangkit lagi.” (QS. Yasin: 49). Ayat ini menunjukkan konsekuensi berat dari kebohongan dan kemunafikan, termasuk hukuman di akhirat.
Pesan moral dari kebohongan politik dalam konteks Pilkada Serentak 2024 adalah bahwa kejujuran dan transparansi adalah kunci untuk menjaga kepercayaan dan integritas sistem demokrasi. Kebenaran harus menjadi landasan utama dalam setiap kampanye dan keputusan politik, untuk mencegah kerusakan yang dapat timbul dari kebohongan dan manipulasi. Ini adalah tanggung jawab bersama bagi semua pihak untuk memastikan bahwa proses pemilihan berlangsung dengan adil dan transparan, demi kebaikan bersama dan integritas masyarakat.