“Tak ada yang salah dengan beriman. Tapi ketika profesionalisme diukur dengan doa, bukan data, yang lahir adalah pergeseran tanggung jawab dari akal sehat ke spiritualitas selektif. Agama dan spiritualitas seharusnya menjadi landasan moral, bukan pengganti pertanggungjawaban profesional.”
OPINI — Hiruk-pikuk hasil job fit pejabat eselon II di Kabupaten Mamasa menembus ke ruang publik, menabrak tembok birokrasi yang selama ini tebal dan sunyi. Hasil asesmen yang digelar di Makassar pada Juni lalu baru diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Mamasa pada awal Oktober. Empat bulan jeda — waktu yang terlalu panjang hanya untuk menilai kesesuaian jabatan.
Pertanyaan pun mengemuka: apa yang sebenarnya terjadi di balik meja panitia seleksi (Pansel)?
Antara yang Dekat dan yang Tepat
Secara normatif, job fit adalah instrumen untuk menilai kompetensi dan integritas pejabat pimpinan tinggi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PP Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020, dan Permenpan RB Nomor 15 Tahun 2019.
Tujuannya sederhana: memastikan jabatan publik diisi oleh mereka yang tepat, bukan yang dekat. Tapi di Mamasa, idealisme itu seolah terselip di antara kepentingan dan keakraban. Proses seleksi yang seharusnya menjadi penjaga gerbang meritokrasi justru berpotensi menjadi pintu belakang bagi praktik nepotisme.
Ketika Tuhan Turut Dilibatkan
Salah satu anggota Pansel, Miten Lullulangi, dalam pernyataannya kepada media, mengatakan bahwa hasil job fit “dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.”
Sekilas terdengar heroik dan religius, tapi di tengah publik yang lelah dengan jargon “akuntabilitas spiritual,” kalimat itu justru terdengar getir. Dalam negara hukum yang modern, pertanggungjawaban publik haruslah bersifat empiris dan terukur, bukan metafisik.
Belakangan, Miten mengakui bahwa dirinya memiliki hubungan keluarga dengan salah satu peserta job fit. Pengakuan itu muncul setelah seluruh hasil disegel dan acara makan malam perpisahan digelar.
Sebuah ironi yang menohok: ketika konflik kepentingan diakui setelah proses selesai, lalu ditutup dengan kalimat “kami pertanggungjawabkan kepada Tuhan.” Padahal, dalam urusan administrasi negara, tanggung jawab seharusnya bukan hanya kepada langit, melainkan juga kepada rakyat yang membiayai seluruh proses itu. Publik menunggu pertanggungjawaban yang bisa diuji secara etik, hukum, dan akal sehat, bukan hanya secara spiritual.
Profesionalisme yang Mandek di Meja Pansel
Dalam tata kelola pemerintahan yang baik, profesionalisme bukan sekadar jargon. Ia menuntut ketepatan, kecepatan, dan integritas yang bisa diukur.
Maka, ketika hasil job fit baru diserahkan empat bulan setelah pelaksanaan, wajar jika publik bertanya: apakah Pansel bekerja dengan prinsip profesional, atau sekadar menjalankan formalitas prosedural? Keterlambatan ini berpotensi mengganggu kontinuitas pelayanan publik, sebab posisi eselon II adalah jabatan strategis yang menentukan roda pemerintahan.
Empat bulan untuk menilai kinerja pejabat eselon II di satu kabupaten tentu bukan waktu yang wajar. Bahkan Mahkamah Konstitusi dapat memutus sengketa Pilpres dalam waktu yang jauh lebih singkat. Keterlambatan ini menimbulkan ruang gelap — ruang di mana transparansi kerap hilang arah dan kecurigaan publik tumbuh subur.
Nilai yang Tak Pernah Diumumkan
Sampai hari ini, tak satu pun pihak Pansel mengumumkan nilai hasil asesmen peserta job fit. Padahal, setiap pejabat berhak mengetahui hasil penilaiannya. Keterbukaan itu penting, bukan hanya untuk menjaga kepercayaan publik, tetapi juga agar sistem meritokrasi yang dijanjikan negara tidak berubah menjadi sistem “temanokrasi.”
Transparansi nilai bukan hanya tentang angka, melainkan cerminan komitmen terhadap prinsip keadilan dan akuntabilitas. Tanpa transparansi nilai, job fit kehilangan makna. Ia berubah menjadi ritual administratif untuk melanggengkan status quo kekuasaan dengan kemasan profesionalitas semu.
Ketika Humor Jadi Satu-satunya Ruang Aman
Di Mamasa, publik kini membicarakan job fit dengan cara khas: setengah serius, setengah bercanda.
“Job fit di Mamasa bukan soal siapa yang paling cocok, tapi siapa yang paling kuat hubungannya — baik dengan Tuhan maupun dengan keluarga,” ujar seorang warga.
Lelucon getir itu bukan tanpa makna. Ia mencerminkan kelelahan masyarakat menghadapi birokrasi yang sering kali bermain di wilayah abu-abu antara kepentingan dan kejujuran. Humor menjadi mekanisme pertahanan diri masyarakat ketika menghadapi sistem yang dianggap tidak adil.
Dampak terhadap Pelayanan Publik
Yang paling dikhawatirkan dari proses job fit yang bermasalah ini adalah dampaknya terhadap pelayanan publik. Pejabat yang ditempatkan bukan berdasarkan kompetensi tapi karena kedekatan, berpotensi menghasilkan kebijakan yang tidak tepat sasaran. Rakyatlah yang akhirnya menanggung akibatnya — menerima pelayanan seadanya dari pejabat yang tidak kompeten.
Profesionalisme Bukan Doa
Tak ada yang salah dengan beriman. Tapi ketika profesionalisme diukur dengan doa, bukan data, yang lahir adalah pergeseran tanggung jawab — dari akal sehat ke spiritualitas selektif. Agama dan spiritualitas seharusnya menjadi landasan moral, bukan pengganti pertanggungjawaban profesional.
Job fit seharusnya menjadi alat meritokrasi, bukan panggung simbolik bagi mereka yang ingin menegaskan moralitas tanpa transparansi. Pada akhirnya, rakyat Mamasa tidak butuh hasil job fit yang dipertanggungjawabkan ke Tuhan.
Mereka hanya ingin hasil yang bisa dipertanggungjawabkan dengan jujur, di hadapan mereka. Mereka butuh kepastian bahwa pejabat yang memimpin benar-benar kompeten, bahwa jabatan adalah amanah, bukan hadiah, dan bahwa birokrasi hadir untuk melayani, bukan untuk dikelola seperti kekayaan pribadi.
Harapan Perbaikan ke Depan
Ke depan, proses rekrutmen pejabat publik perlu dilakukan dengan lebih transparan dan akuntabel. Mekanisme pengawasan yang independen harus dibentuk untuk mencegah konflik kepentingan. Publik berhak mengetahui proses dan hasil seleksi, karena merekalah pemilik kedaulatan dalam demokrasi.
Kita semua berharap, kasus job fit di Mamasa ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk membangun tata kelola pemerintahan yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih profesional.
Penulis;
Arwin Rahman, S.H., C.L.A
(Koordinator Presidium MD KAHMI Mamasa & Wakil Ketua DPRD Kabupaten Mamasa)




