Seorang muslim biasanya secara normal, sebelum masuk ke jalur ma’rifat maka terlebih dahulu, melewati: syariat, tarekat dan hakekat. Kadang pula, seorang muslim tanpa dua tahapan tersebut diatas (tarekat dan hakekat), langsung dipaksa oleh Allah (dengan sifat Maha Pemaksanya Allah) untuk masuk dan bergelut dalam tahap ma’rifat.
Biasanya, yang langsung masuk tahap ma’rifat ini, didahului dengan penyaksian-penyaksian alam rahasia pada dirinya sebagai manusia yang dilengkapi dengan sebagian dari Ruh Allah. Bisa pula, karena terjadinya kecipratan berkah dari malam Lailatul Qadar di bulan ramadhan. Ini pun dapat terjadi bila yang bersangkutan melakukan puasa tanpa noda dan ikhlas karena Allah satu bulan penuh, disertai sholat lima waktu yang juga tanpa noda dan ikhlas karena Allah. Akhlak atau budi pekerti yang tanpa noda dan ikhlas karena Allah, pasca puasa dan sholat pada bulan ramadhan ini, juga sangat memegang peranan penting untuk bisa menerima berkah malam Lailatul Qadar.
Firman Allah dalam Alqur’an, berbunyi: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala urusan, keselamatanlah malam itu hingga terbit fajar.” [QS: Al-Qadar : 1-5]
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS: Ad-Dukhan : 3-6]
Biasanya, setelah mendapatkan berkah malam Lailatur Qadar maka akan berproses menuju tanya sana dan tanya sini (bertanya pada ahli agama) tentang peristiwa yang dialaminya, meski umumnya mereka menjawab, “bersyukurlah dan bersabarlah menunggu Ridho Allah”.
Dengan sifat Maha Pemaksa dari Allah yang telah melingkupi dirinya, maka yang bersangkutan biasanya terus berkelana mengolah dan mengasah pola serta daya pikirnya. Penyaksian-penyaksian penuh hikmah yang ditampilkan oleh Allah kepadanya, baik didalam malam Lailatul qadar maupun diluar malam Lailatul qadar, telah menghujam dan memenjarakan seluruh otak, hati, jiwa dan seluruh sel-sel darahnya agar tetap bergairah serta menggelora dalam pencarian jawabannya.
Dalam jangka waktu bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun yang bersangkutan terus digembalakan dan diarahkan oleh alam gaib. Hampir tak ada lagi yang tersisa kesempatan buat dirinya, guna memikirkan serta mengurusi perihal masa depannya di dunia. Totalitas kerja otot, otak, semangat dan jiwanya terus terarahkan dalam pemaksaannya Allah, guna mencari jawaban kebenaran atas petunjuk Allah yang telah disaksikan lewat penyaksian-penyaksiannya.
Setelah berjalan puluhan tahun proses pencariannya, maka tanpa disadarinya dirinya telah masuk dalam tingkatan sufi (Pangrita, dalam istilah suku bugis makassar). Dalam tingkatan ini, yang bersangkutan belum sampai pada tingkat sempurna dalam ma’rifat (belum bertemu dengan yang sesungguhnya diperintahkan padanya untuk cari dan dapatkan). Meskipun begitu, tingkat sufi ini sudah luar biasa karomah yang dimilikinya, dan itu pun biasanya tanpa disadarinya. Pada saat-saat tertentu, dengan bersemedi/hening cipta (istilah diluar Islam) atau bertafakkur (istilah dalam Islam) dirinya dapat memasuki alam malakut (Allah membuka hijabnya), dan dia dapat berkomunikasi dengan Malaikat atau Waliyullah, tentu dengan izin Allah. Dia juga tak perlu lagi menggunakan share lokasi atau google map, untuk mengetahui keberadaan bahkan keadaan hati seseorang, tapi cukup dengan tafakkur.
Sayangnya, semua keadaan diatas tak dapat dinilai atau ditukar dengan hal yang bersifat finansial. Dirinya menuju pada penghancuran dunianya (Boya’ Naku Boya Tongko, Punna Nurasa’, Kubunoko. Ini semacam kata-kata bersayap dari orang makassar dahulu kala yang sarat makna religius).
Dalam pengembaraan pencariannya, orang ini terus berkelana dari mesjid ke mesjid lakukan i’tikaf tanpa jadwal, semata digerakkan oleh rohaninya. Ketika tiba masa dimana Allah telah berkenan, maka dirinya akan dipertemukan secara nyata dengan seorang “Waliyullah” yang akan mengajarinya dan mengantarkannya dalam meraih apa yang telah diperintahkan untuk dicari dan didapatkan. Ketahuilah, dalam proses ini jangan pernah berharap untuk kaya atau mewah atau hidup yang lebih mapan secara duniawi, walau begitu orang ini tidak pernah merasa kekurangan dalam hidupnya.
Ketika dirinya telah berketetapan menjadikan sabar dan sholat sebagai penolongnya, lalu Allah pun telah berketetapan meridhoinya, maka Dzat Allah (bukan zat) akan memerintahkan rohaninya untuk menjadi Imam bagi jasmaninya secara nyata, langsung dan berkelanjutan. Dan ini melalui pelantikan resmi, dimana berkemungkinan besar pelantikan ini dipimpin langsung oleh Nabi Khidir As, dimana beliau adalah pimpinan tertinggi dari seluruh Tentara Allah di dunia.
Pasca pelantikan, maka jasmani dan rohani orang ini dapat berkomunikasi secara langsung dan nyata. Jasmaninya pun telah berada di dalam dan rohaninya berada diluar (kebalikan manusia biasa). Sehingga, semua pergerakannya tidak lagi dengan jasmani tapi dipimpin oleh rohani secara nyata dan langsung. Segala pergerakannya tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu, walau sesekali dia pun rindu untuk melakukannya, atau karena perintah dari Allah SWT.
Karena umumnya rohaninya berada diluar, sehingga dirinya pun tak nampak lagi di dunia, walaupun sebenarnya dirinya masih berada di dunia nyata guna menjalankan perintah Allah, dibawah komando Nabi Khidir As.
Dia telah berhasil menghancurkan dunianya (Boya’ Naku Boya Tongko Punna Nurasa’, Kubunoko). (Wallahu a’lam Bis-shawabi).
Penulis hanya berharap Maha Penyayangnya Allah, mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan ini, saya hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
SYAHRIR AR
Sungguminasa, Gowa, Sulsel, Minggu, 26 Januari 2020