Dosen dan Ulama Kharismatik Banten, Ajak Generasi Milenial Berantas Radikalisme

kosongsatunews.com–Gencarnya perkembangan teknologi belakangan ini, telah memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat. Derasnya arus informasi yg tersebar melalui teknologi, terutama teknologi internet dan media sosial, telah memudahkan pengguna internet untuk mengakses beragam informasi yg berguna bagi kehidupan masyarakat.

Namun, kemajuan teknologi ini juga mendatangkan dampak negatif, yaitu menyebarnya paham radikalisme yang menjurus pada aksi terorisme.

Beberapa penelitian menyebutkan, sejak era reformasi yang diikuti dengan masifnya perkembangan revolusi industri 4.0, generasi muda terutama mahasiswa merupakan pihak yg rawan terpapar oleh paham radikalisme, sebagai dampak dari aktivitas penggunaan internet dan media sosial atau medsos.

Pada acara Dialog Kebangsaan yang digelar oleh Aliansi Pemuda Peduli Negeri (APPN) di Saung Edi Bayangkara Kota Serang, Jumat, (13/12), dengan tema “Peran Mahasiswa Jaman Now, Dalam Mencegah Radikalisme dan Terorisme Di Era Informasi”, Sekretaris Prodi MPI S3, UIN Sultan Maulana Yusuf Banten, Dr. Ali Muhtarom, M.Si, memaparkan, bahwa sejak masa reformasi di Indonesia telah berkembang upaya pemaksaan suatu paham keagamaan, yg disebarkan oleh kelompok – kelompok tertentu, untuk mengkoreksi pola kehidupan beragama di masyarakat. “Kelompok ini muncul utk menyebarkan pemahaman keagamaan dan membangun kebenaran versi mereka sendiri”, kata Ali. Hal ini kemudian menjadi persoalan, dan telah menyebabkan persaingan otoritas keagamaan yang memuat paham – paham transnasional dari luar negeri.

Dampak lain yg muncul adalah adanya pemahaman yg bersifat ensiklopedis, dimana pemahaman tersebut muncul dari pemahaman yg sifatnya instan, tidak mendalam berdasarkan kajian utuh dalam materi keagamaan. Pemahaman ensiklopedis ini, tumbuh dan berkembang secara cepat dilingkungan masyarakat, ditandai dgn munculnya para tokoh yg masih memahami keagamaan secara instan namun sdh populer ditengah masyarakat. “Baru membaca satu buku agama, sudah disebut ustad. Padahal pemahaman beliau tentang agama, masih dangkal dan mentah. Ini menjadi tantangan bagi generasi muda utk menangkal paham semacam ini”, kata Ali. Pemahaman instan tersebut kemudian disebarkan secara masif melalui media internet dan medsos, yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat terutama generasi milenial. Tidak jarang pemahaman tersebut dibarengi dengan penyebaran hate speech, dan berita hoaks, yang kemudian menjadi bibit paham radikalisme yang menyebar ke masyarakat.


Sementara itu, menurut Ulama Kharismatik Banten, Gus Soleh, pasca reformasi yang ditandai dengan munculnya banyak partai politik, turut menyuburkan tumbuhnya paham yang bertopeng agama untuk meraih kekuasaan. Selain itu, munculnya fanatisme keagamaan, yg dipahami secara berbeda dibandingkan dengan kebanyakan paham keagamaan di Indonesia. Walaupun sifat fanatisme terhadap agama adalah hal yg di bolehkan dalam agama Islam, namun fanatisme tsb perlu diarahkan pada pemahaman kegamaan yg utuh, sejalan dengan rasa nasionalisme dan kebangsaan yg kuat, demi utuhnya persatuan dan kesatuan di Indonesia, agar tidak kebablasan bahkan menyuburkan benih – benih radikalisme di Indonesia, yg dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, untuk kebutuhan yg negatif dan menciptakan konflik. “Fanatisme terhadap agama, dibolehkan dalam agama Islam, tapi fanatisme tersebut harus digunakan untuk mendorong persatuan dan kesatuan dalam lingkup NKRI,” kata Gus Soleh. Sayangnya fanatisme yang berlebihan tersebut, disebarkan dengan menggunakan berita hoaks dan cenderung mengandung ujaran kebencian, yang kemudian menimbulkan perdebatan paradigma yang merambah luas dan mengakar hingga ke generasi milenial, dan tersebar secara masif melalui media internet dan medsos. Generasi milenial merupakan pihak yang rentan terpapar fanatisme tersebut, karena aktif menggunakan medsos, dan berada dalam fase pencarian jati diri. Sehingga jika tidak diberikan pemahaman yang terarah menurut Al Quran dan Hadist, dikhawatirkan generasi milenial tersebut dapat terjerumus ke dalam fanatisme eksklusif, yang menciptakan karakter yang tidak mau menerima kebenaran dari luar mazhabnya sendiri, dan menyuburkan paham radikalisme yang berujung pada aksi terorisme.

“Generasi milenial disarankan untuk mencari pemahaman keagamaan dari ulama yang tepat, bukan dari tokoh agama yang hanya memanfaatkan kepopuleran sementara, agar tidak terjerumus pada paham radikalisme,”tambah Gus Soleh.
Oleh karena itu, untuk memberantas penyebaran paham radikalisme dikalangan generasi milenial terutama melalui medsos, generasi milenial perlu rajin mencari sumber informasi yang tepat, serta menjauhi sifat latah ketika menerima informasi yang belum jelas validitasnya. “Kalo dulu ada ungkapan mulutmu harimaumu, sekarang ditambah uangkapan itu, yaitu jarimu harimaumu” kata Rizki Ikhwan S.STp, M.Si, dari Kominfo Serang. Selain itu, generasi muda perlu memperkuat literasi, untuk membuat wacana tandingan untuk menangkal provokasi berbasis keagamaan, serta merebut institusi – institusi berbasis keislaman dari kelompok militan radikalisme. Ditambah lagi, generasi milenial perlu untuk mengetahui dan menghapalkan kembali lagu – lagu nasional yang pernah popular, untuk menanamkan rasa nasionalisme terhadap NKRI. “Rasa nasionalisme perlu ditanamkan kepada semua generasi milenial, untuk menumbuhkan kebanggaan terhadap negara Indonesia, sehingga menutup peluang masuknya paham radikalisme yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Rizki mengakhiri pemaparannya.

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *