MAKASSAR – Hingga hari ini, Minggu, 15 September 2024, sekitar pukul 14.35 WITA, belum ada tanggapan resmi dari Dede, SH, Ketua Bawaslu Kota Makassar, dan Mahyuddi, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, terkait dugaan ketidaknetralan yang mengemuka. Kosongsatunews.com telah berupaya menghubungi mereka melalui panggilan dan pesan WhatsApp pada Sabtu, 14 September 2024, namun kedua pihak belum memberikan klarifikasi.
Situasi menjadi semakin rumit setelah tangkapan layar percakapan WhatsApp yang diduga melibatkan Mahyuddi tersebar luas. Dalam percakapan tersebut, Mahyuddi tampak memberikan arahan politik yang jelas untuk mendukung kandidat DP-Azhar dan Indira-Ilham, dengan rencana distribusi PIN untuk memengaruhi suara. Kontroversi ini menimbulkan kekhawatiran tentang keterlibatan pejabat publik dalam politik praktis, yang seharusnya dihindari untuk menjaga netralitas pejabat.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 2 Ayat (1) menegaskan bahwa ASN wajib bersikap netral dan tidak berpihak pada kepentingan politik manapun. Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri SipiI, Pasal 5 Ayat (1) huruf d melarang PNS terlibat langsung dalam politik praktis, termasuk memberikan dukungan atau arahan politik. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa mengakibatkan sanksi administratif mulai dari peringatan hingga pemecatan, sesuai Pasal 8 Ayat (1) huruf a, b, dan c.
Sikap diam dari Dede dan Mahyuddi memperburuk ketidakpastian dan memicu spekulasi publik. Apalagi, isu ini muncul menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 pada 27 November 2024, yang membuat masalah ini semakin sensitif. Keberanian untuk memberikan klarifikasi sangat diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada reputasi lembaga publik dan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Dalam hal penyalahgunaan wewenang, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 14 Ayat (2) melarang pejabat publik memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politik atau pribadi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi berat, mulai dari tindakan administratif hingga hukuman pidana, termasuk denda atau penjara, tergantung pada beratnya pelanggaran.
Penting bagi Dede, sebagai Ketua Bawaslu, untuk segera memberikan penjelasan agar spekulasi mengenai ketidaknetralan ini tidak berlarut-larut. Klarifikasi dari Mahyuddi juga diperlukan untuk mengatasi dugaan pelanggaran etika dan menjaga integritas lembaga pendidikan. Keterlambatan dalam memberikan tanggapan hanya akan memperburuk persepsi publik dan mengancam kredibilitas institusi yang mereka wakili.
Kosongsatunews.com akan terus mengejar informasi dan klarifikasi dari kedua pihak untuk memastikan pemberitaan yang akurat dan terpercaya. Klarifikasi ini sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan menjaga transparansi dalam pelaksanaan tugas publik.
Dengan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 yang semakin dekat, kepatuhan terhadap peraturan dan etika sangat penting untuk memastikan proses pemilihan yang adil dan transparan. Pejabat publik harus menunjukkan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan netralitas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang yang dapat merusak tatanan demokrasi dan kepercayaan masyarakat.
Oleh karena itu, diharapkan Dede dan Mahyuddi segera memberikan klarifikasi yang diperlukan. Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang jelas untuk menghindari prasangka negatif dan memastikan bahwa setiap tindakan pejabat publik mematuhi hukum yang berlaku.(Yusuf Buraerah)